MEMBANGUN
ORMAS BERKARAKTER DALAM RANGKA
MEMPERKUAT
INTEGRITAS BANGSA
Oleh: Dr.
Ir. Tri Pranadji, MSi, APU
Tenaga
Ahli Pemerintah untuk RUU Ormas (2012), Sekretaris Jenderal Ikatan Sosiologi
Indonesia (2005-2010), dan Ahli Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Bogor.
Makalah
disampaikan pada kegiatan “Peningkatan Peran Ormas dalam Penguatan Karakter
Bangsa” yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Selasa, 27 November 2012, di Hotel
Grand Sahid Jaya, Jakarta.
RENUNGAN
Bangsa
yang berintegritas adalah bangsa yang menegakkan prinsip-prinsip moral (“etika”)
dalam seluruh sistem kehidupan. Integritas (moral) tertinggi suatu bangsa adalah
tidak terjajah dan tidak menjajah bangsa lain; juga tidak mentolerir tumbuh dan
berkembangnya budaya yang berimplikasi pada terjadinya penjajahan (secara
internal) terhadap bangsa sendiri. Kemerdekaan pada tahun 1945 merupakan simbol
awal dari pembentukan dan penguatan integritas Bangsa Indonesia. Dapat diajukan
pertanyaan: “Apa yang akan terjadi ketika (proses menuju merdeka) Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) tidak dikendalikan pemimpin yang mempunyai karakter
dalam mendukung (atau setidaknya tidak setuju) dengan gerakan untuk memperoleh kemerdekaan
dalam pembentukan NKRI?” Ormas adalah bagian esensial tubuh masyarakat Bangsa
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa jika saja ketika itu tidak ada (aktivitas para
tokoh pendiri bangsa melalui) Ormas maka sangatlah mungkin tidak akan terwujud
berbagai bentuk perjuangan untuk mencapai kemerdekaan (melepaskan diri dari
penjajahan ekonomi, politik, sosial, dan keamanan yang dikendalikan oleh
dominasi nilai sosio budaya asing). Perjuangan untuk memperoleh “kemerdekaan” atau
membangun integritas bangsa merupakan nukan pekerjaan mudah, namun hal itu
harus ditempuh karena untuk menciptakan sistem kehidupan yang lebih adil dan
terhormat. Perjuangan tokoh-tokoh pergerakan menjadi efektif dengan membentuk
perserikatan (organisasi) kemasyarakatan, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa penguatan integritas Bangsa Indonesia sangat tergantung pada integritas
(atau karakter pemimpin) Ormas. Melalui penguatan integritas (modal sosio
budaya) Bangsa Indonesia inilah pencapaian tujuan konstitusi (keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia) atau eksistensi NKRI dipertaruhkan.
PENGANTAR
Secara sosio-historis, Organisasi
kemasyarakatan (Ormas) dapat disebut
sebagai induk atau “ibu” dari segala jenis organisasi untuk membangun
(integritas) bangsa. Organisasi bidang politik, ekonomi, pemerintahan, dan pertahanan
baru tumbuh setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia tewujud. Perkembangan Ormas di
Indonesia dapat dikatakan telah berlangsung hampir sepanjang proses sejarah
pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan tidak salah jika
dikatakan bahwa Ormas sudah lahir dan berkembang sebelum NKRI berdiri. Tidak
salah juga jika dikatakan bahwa NKRI ini berdiri (17 Agustus 1945) salah
satunya adalah berkat perjuangan segenap elemen Bangsa Indonesia dengan
menggunakan “kendaraan” Ormas. Dapat dikatakan bahwa jika Ormas lemah maka akan
lemah juga kekuatan (modal) sosio budaya Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
sudah sewajarnya jika pemberdayaan terhadap Ormas ke depan diarahkan pada penguatan
integritas (modal sosio budaya) Bangsa Indonesia.
Modal
sosio budaya Bangsa Indonesia adalah perwujudan tata nilai (yang
diimajinasikan) dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif penguatan
(modal) sosio budaya, inti kemajuan atau kehormatan bangsa adalah sampai sejauh
mana dapat diwujudkan (kembali) nilai sosio budaya luhur atau nilai kemuliaan dalam
tubuh Ormas. Mengapa hal ini juga harus dimulai dari Ormas? Dapat dikatakan
bahwa pada Ormas ini awal tersemai dan terpeliharanya elemen dasar pembentuk
masyarakat besar (Bangsa Indonesia). Ormas adalah bagian dari nafas kehidupan
masyarakat baik yang berbentuk organisasi formal maupun sekedar mengandalkan
legitilasi budaya setempat. Jika dalam penataan kehidupan Ormas mengalami
masalah, maka dampaknya akan terasa dalam seluruh tubuh masyarakat bangsa
Indonesia. Cita-cita untuk mewujudkan “keadilan sosial bangi seluruh Bangsa
Indonesia” tidak akan terwujud tanpa dukungan “partisipasi” masyarakat melalui
Ormas.
Atribut budaya fisik, misalnya peralatan perang dan
kemajuan ekonomi, merupakan turunan dari (modal) sosio budaya masyarakat atau
bangsa. Pertarungan menuju “kemenangan” dalam “medan peperangan multi dimensi”
(ideologi, politik, ekonomi, pemenuhan kebutuhan dasar, militer, energy, pangan,
dan infrastruktur) sangat ditentukan kemampuan suatu masyarakat dalam membangun
nilai sosio budayanya. Harrison dan Huntington (2000) menyebutkan bahwa
kemajuan suatu masyarakat ditentukan oleh nilai sosio budaya yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Dengan kata lain, hulu dari suatu kemajuan atau kehormatan
suatu bangsa adalah sejauh mana telah dilakukan peningkatan (atau pemeliharaan)
kualitas dan kekuatan nilai adat sosio budaya yang mendukung kehidupan masyarakat
bangsa tersebut. Untuk mewujudkan kemajuan yang berukuran besar dan pluralistik,
sebagaimana masyarakat Bangsa Indonesia, maka penguatan integritas (modal) sosio
budaya merupakan hal yang sangat penting.
Beberapa pemerhati kritis, misalnya forum “pemuka”
agama menyatakan bahwa akhir-akhir ini kondisi Bangsa Indonesia mengalami
penurunan “kekuatan jati diri” atau energi nilai-nilai identitas kebangsaan.
Masih tingginya indeks korupsi (corruption
index dan bribery index)
menunjukkan terjadinya “krisis integritas (modal) sosio budaya” dalam tubuh
elit Bangsa Indonesia. Kehadiran dan keberadaan Ormas yang berkarakter masih
sangat dibutuhkan, khususnya yang dapat memberikan kontribusi terhadap
penguatan integritas (modal) sosio budaya bangsa secara signifikan. Tulisan ini
mencoba memberikan pandangan tentang dua dimensi yang perlu diperhatikan dalam
pembentukan Ormas berkarekter di Indonesia; yaitu melalui penguatan
ideologi-konstitusional di satu sisi, dan
penguatan (modal) sosio budaya di sisi lain.
SOSIO BUDAYA DAN KEMAJUAN BANGSA
Secara sosiologis Pranadji (2011) menyebutkan bahwa
untuk melakukan penguatan modal sosio budaya bangsa, paling tidak ada 5 (lima)
aspek yang perlu mendapat penguatan atau perhatian kritis, yaitu: tata nilai,
kepemimpinan, manajemen sosial, kompetensi sumberdaya manusia (SDM), dan
struktur sosial. Istilah (modal) sosio
budaya adalah padanan dari modal sosial (social capital). Seringkali modal
sosial juga disejajarkan dengan istilah kearifan lokal (local wisdom).
Istilah-istilah tersebut memang tidak diambil dari khasanah (asli) Bahasa
Indonesia. Sekitar tiga dekade terakhir, istilah modal sosial (social capital)
mulai dikembangkan (khususnya di Eropa), terutama untuk menjelaskan mengapa
suatu masyarakat menjadi relatif maju, sementara masyarakat lain (pada saat
hampir bersamaan) relatif terbelakang. Dapat dikatakan bahwa maju atau tidaknya
suatu masyarakat; demikian juga beradab atau tidaknya suatu masyarakat; sangat
ditentukan oleh kekuatan sosio budaya atau modal sosial atau kearifan lokal yang
melatar-belakanginya (Pranadji, 2006; 2010).
Tingkat peradaban atau kemajuan suatu masyarakat
ditentukan oleh kekuatan sosial budayanya, khususnya nilai sosio budaya. Dalam
tatanan masyarakat yang beragam atau
pluralistik berukuran besar, seperti pada Bangsa Indonesia, diperlukan
penyeimbangan dan pengintegrasian kemajuan nilai sosial budaya antar masyarakat
baik secara horisontal (antar etnis dan desa) maupun vertikal (etnis, desa,
daerah, dan nasional). Penyeimbangan dan pengintegrasian nilai sosial budaya
yang dimaksud perlu melibatkan komponen sosial budaya lainnya, seperti:
kepemimpinan, manajemen sosial, dan kompetensi SDM. Fungsi penyeimbangan ini
akan efektif jika melibatkan peran Ormas pada berbagai lapisan masyarakat dan
kegiatannya yang khusus. Perlu diketahui bahwa ragam kegiatan Ormas umumnya mengikuti
dinamika dan kebutuhan kehidupan masyarakat.
Perubahan adalah suatu
yang “abadi” dan semua hal dapat dilakukan perubahan atau penguatan, termasuk
terhadap (modal) sosio budaya Bangsa Indonesia. Dalam perspektif penguatan kehidupan Bangsa Indonesia, hal ini dapat didekati dengan kerangka perubahan sosial (budaya) yang terencana atau perubahan sosial
yang dipercepat.
Tata nilai sosio budaya dapat dipandang sebagai hulu
atau penggerak (“engine”)
perubahan. Dari nilai sosio budaya yang dapat dibangun visi perkembangan suatu masyarakat
atau bangsa. Menurut
salah satu penggagasnya atau perintis kemerdekaan Bangsa Indonesia, Bung Karno, visi ideologi dan filosofi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berasal dari nilai sosio budaya yang secara historis hidup dan berakar
pada berbagai masyarakat lintas etnis atau suku bangsa di seluruh wilayah Indonesia.
Keterpurukan suatu masyarakat Bangsa Indonesia di
bidang sosial, ekonomi, politik, dan kerusakan lingkungan umumnya sangat erat
kaitannya dengan lemahnya nilai sosial budaya yang ada atau berkembang dalam tubuh
Ormas dan keseluruhan masyarakat Bangsa Indonesia. Ketika nilai sosio budaya
tercabut atau terasing atau mengalami degradasi dari dalam tubuh Ormas dan dinamika
keseluruhan masyarakat etnis dan pedesaan, maka ketika itu masyarakat Bangsa
Indonesia berada dalam ambang bahaya (menuju “kehancuran”). Oleh sebab itu, penguatan
nilai sosio budaya pada tubuh Ormas dan keseluruhan masyarakat Bangsa Indonesia
sebagai bagian dari penguatan modal sosial di tingkat desa, daerah, dan
nasional.
Indikator keberhasilan pembangunan dapat dilacak dari
terwujudnya tindakan kolektif yang terorganisir (organized collective action) dalam kehidupan masyarakat. Menurut Etzioni (1964),
tindakan kolektif tersebut dilihat secara multi dimensi, antara lain sosial,
ekonomi, serta keamanan dan ketertiban. Dikaitkan dengan revitalisasi nilai
sosio budaya, landasan tindakan kolektif
sebagai masyarakat bangsa dapat dirumuskan sebagai
“keadilan sosial, kegotong-royongan, dan kemandirian”. Kegotong-royongan secara
terorganisir untuk mencapai keadilan melalui kemandirian dapat dipandang
sebagai visi revitalisasi niulai sosial
budaya masyarakat baik di tingkat nasional,
daerah, desa, dan komunal/etnis (Tabel 1).
Tabel
1. Komponen (modal sosio budaya) integritas Bangsa
Indonesia menurut tingkatan masyarakat
dan komponen pembentuknya
No
|
Komponen
(modal sosial) integritas budaya
|
Tingkatan
masyarakat Bangsa Indonesia
|
|||
Nasional
|
Daerah
|
Desa
|
Komunitas
|
||
1
|
Tata-nilai sosial budaya
|
|
|
|
|
2
|
Kepemimpinan
|
|
|
|
|
3
|
Manajemen sosial
|
|
|
|
|
4
|
Struktur sosial
|
|
|
|
|
5
|
Kompetensi SDM
|
|
|
|
|
Gambar 2 menunjukkan kaitan (modal) sosio budaya dalam
mentransformasikan sistem masyarakat etnis, pedesaan dan daerah. Dalam istilah “mentransformasikan” terkandung makna
adanya visi dalam pembangunan ekonomi (ek), sosial (sos), budaya (bud), politik
(pol) dan pemerintahan (pem). Pembagian katagori komponen
strategis dalam bentuk ”kotak” dan ”bulatan” untuk membedakan bahwa bentuk
”kotak” menggambarkan komponen soft-power (dekat dengan soaial
budaya atau budaya non-material;
Sorokin, 1971); sedangkan bentuk ”bulatan” menggambarkan komponen hard-power
atau budaya material. Selain ekosistem dan lingkungan, sebutan lain dari
sumberdaya alam (natrual resources), seharusnya menjadi sasaran
strategis sebagai hasil karya masyarakat (”man-made”) yang terorganisir
secara visioner. Jika perkembangan terbangunnya komponen man-made
relatif kecil, hal ini menunjukkan lemahnya kreativitas kolektif atau modal
sosial suatu masyarakat.
PENGUATAN
NILAI SOSIO
BUDAYA
Kekuatan atau
kemajuan suatu masyarakat terletak pada
nilai sosio budayanya (Harrison dan Huntington, 2000). Dapat dikatakan bahwa inti kekuatan suatu sosio
budaya terletak pada tata-nilai yang dibangun untuk
mendukungnya. Kemajuan masyarakat Bangsa Indonesia tidak akan ada artinya jika tidak
didukung oleh kekuatan Ormas yang merupakan cerminan segenap elemen masyarakat
adat dan etnis yang membentuknya. Tata nilai yang dikembangkan oleh Ormas untuk kemajuan Bangsa
Indonesia seharusnya mencakup kerja keras,
kemandirian dan kerjasama. Nilai
sosio budaya ini mempunyai kemiripan dengan
nilai sosio yang dikembangkan pada berbagai masyarakat di negara lain yang sudah atau sedang maju,
misalnya China, Korea, dan Jepang.
Belajar dari kemajuan masyarakat Eropa, umumnya mereka sangat akrab dengan nilai sosio atau budaya kerja keras. Nilai kerja keras ini berakar dari nilai atau etika Protestan (”Protestant ethics”), dan hal itu dianggap sebagai bagian dari panggilan (“calling”)
atau “ibadah”. Nilai
sosio budaya inilah yang sedikit banyak telah membuat bangsa Eropa dapat
keluar dari jebakan abad kegelapan. India
(dan China) membangun kemandirian dan
kemerdekaannya dengan semboyan (nilai) swadeshi,
diperkenalkan oleh Mahatma Gandhi. Salah satu faunding fathers Indonesia, Soekarno (1963), menyatakan bahwa ”kita
tidak boleh menjadi masyarakat (bangsa) yang mengadopsi (nilai) budaya kuli, ..., kita harus bisa berdiri di kaki
sendiri” (mandiri). Peran
Ormas sangat strategis dalam menghela penguatan nilai-nilai sosio budaya
dimaksud.
Tabel 1. Hubungan antara elemen nilai
(adat) sosial budaya dasar dan komponen (nilai komposit) kemajuan masyarakat
menurut tingkat kekuatannya
No.
|
Elemen tata-nilai (adat
istiadat) dasar
|
Komponen nilai sosial
budaya komposit untuk
kemajuan masyarakat
|
|||
Produktivitas/
kemandirian
|
Keadilan/ kehormatan
|
Solidaritas/
persatuan
|
Keberlanjutan
|
||
1
|
Rasa malu & harga diri
|
+++
|
+++
|
+++
|
+++
|
2
|
Kerja keras
|
+++
|
+++
|
+++
|
+++
|
3
|
Rajin & disiplin
|
+++
|
+++
|
+++
|
+++
|
4
|
Hidup hemat
|
+++
|
+++
|
+++
|
+++
|
5
|
Gandrung inovasi
|
+++
|
++
|
++
|
+++
|
6
|
Menghargai prestasi
|
+++
|
++
|
+
|
++
|
7
|
Berpikir sistematik
|
+++
|
++
|
+++
|
+++
|
8
|
Empati tinggi
|
++
|
++
|
+++
|
+++
|
9
|
Rasional/impersonal
|
+++
|
+++
|
++
|
+++
|
10
|
Sabar dan syukur
|
++
|
+++
|
+++
|
+++
|
11
|
Amanah (high trust)
|
+
|
++
|
+++
|
+++
|
12
|
Visi jangka panjang
|
+
|
++
|
+++
|
+++
|

Melakukan
penguatan nilai
sosio budaya untuk membangun
masyarakat Bangsa
Indonesia sangatlah penting. Ormas merupakan alat strategis untuk mewujudkan nilai
sosio budaya yang dijadikan pedoman tindakan masyarakat sehari-hari; yang di
dalamnya terkandung etika, dan norma hukum (walaupun mungin tidak tertulis).
Pembangunan karakter Bangsa Indonesia sangat tidak masuk akal jika tidak
mengakomodasi dan menyertakan peran Ormas dan tokoh masyarakat dari berbagai
daerah dari pelosok Nusantara. Seperti halnya masyarakat besar lain secara
lintas sejarah, cikal bakal Bangsa indonesia adalah karena gerakan Ormas yang
sangsat massif dan visioner. Dapat dimengerti jika kemajuan dan kehormatan kehidupan
Bangsa Indonesia ke depan masih sangat tergantung dari peran Ormas yang
progresif dan visioner di berbagai tingkatan; lokal/etnis, pedesaan, dan daerah.
Oleh sebab itu, dalam rangka penguatan nilai sosio budaya kebangsaan, tidak
dapat dilepaskan dari peran Ormas di berbagai lapisan masyarakat di tingkat etnis.
desa, dan daerah.
Secara
imajinasi untuk memacu kemajuan Bangsa Indonesia di masa datang haruslah dilandaskan pada peran
Ormas dalam upaya penguatan nilai sosio budaya pada berbagaai tingkatan masyarakat
(etnis, desa, dan daerah). Paling tidak dibutuhkan penguatan
terhadap empat elemen komposit nilai sosio budaya masyarakat, yaitu: kemandirian, gotong royong, keadilan, dan
keberlanjutan. Pranadji (2003; 2006) menyebutkan bahwa paling
tidak ada 12 elemen nilai sosio budaya dasar (Tabel 1) yang dapat dijadikan langkah
awal untuk menggerakkan enerji sosial masyarakat;
yang hal ini akan sangat efektif jika didukung oleh peran Ormas. Jika diperhatikan sekilas, maka dari 12 elemen nilai
sosio budaya dasar
dapat dikelompokkan menjadi dua katagori besar,
yaitu nilai sosio budaya yang terkait dengan kemajuan
masyarakat berdasar pada penguatan budaya material (No.1 – No.4). Sedangkan
elemen nilai sosio budaya untuk kemajuan masyarakat Bangsa
Indonesia berdasar pada penguatan
karakter masyarakat (”non-material
culture”) untuk maju dicerminkan pada urutan tata-nilai No.5 – No.12.
Elemen tata-nilai kemajuan
|
Tingkatan masyarakat
|
Elemen tata-nilai keterbelakangan
|
||
Etnis/
Suku
|
Kelurahan/
Kecamatan
|
Lintas etnis/adat
|
||
Rasa
malu & harga diri
|
|
|
|
Rai gedheg & rendah diri
|
Kerja
keras
|
|
|
|
Kerja lembek
|
Rajin
& disiplin
|
|
|
|
Malas & seenaknya
|
Hidup
hemat & produktif
|
|
|
|
Boros & konsumtif
|
Gandrung
inovasi
|
|
|
|
Resisten inovasi
|
Menghargai
prestasi
|
|
|
|
Askriptif/primordial
|
Sistematik
& terorganisir
|
|
|
|
Acak & difuse
|
Empati
tinggi
|
|
|
|
Antipati tinggi
|
Rasional/impersonal
|
|
|
|
Emosional/personal
|
Sabar
dan syukur
|
|
|
|
Pemarah dan penuntut
|
Amanah
(high trust)
|
|
|
|
Tidak bisa dipercaya
|
Visi
jangka panjang
|
|
|
|
Visi jangka pendek
|
Tabel 2.
Perbandingan elemen nilai sosial budaya yang
membentuk identitas dan kemajuan masyarakat secara berkelanjutan.
Ormas akan sangat efektif jika mampu melakukan
upaya terhadap sejumlah elemen nilai sosio budaya yang sifatnya sangat halus, dan hal itu sangat
menentukan kemajuan masyarakat pada berbagai etnis, desa, dan daerah yang bersifat universal. Elemen yang
dimaksud adalah rasional, empati, sabar/syukur, amanah, dan bervisi jangka
panjang. Kekurangan elemen nilai sosial budaya pengintegrasi masyarakat daerah umumnya pada lemahnya
penerapan empati secara kolektif lintas daerah (spasial) dan lintas generasi.
Dikombinasikan dengan lebih berorientasi jangka pendek, maka makna (nilai)
empati tenggelam dalam hiruk pikuknya pragmatisme
mengejar kemajuan jangka pendek, tidak sabar, dan saling bermusuhan (tidak
saling empati). Jika elemen nilai sosio budaya yang disebut terakhir, maka yang terjadi adalah
pendisitegrasian pada berbagai masyarakat daerah di Indonesia, karena kemajuan
suatu golongan dan daerah (dapat berakibat) sebagai bencana bagi golongan atau daerah lain.
Ormas dapat berperan dalam membangun keharmonisan hubungan
antara elemen nilai sosio budaya dasar
dan komponen (nilai komposit) kemajuan suatu masyarakat etnis, desa, dan daerah
dapat diikuti pada Tabel 2. Umumnya para penganalis kemajuan sosio budaya masyarakat
bangsa yang bersifat lintas etnis dan kedaerahan hanya terpaku pada komponen
nilai komposit yang perlu dibentuk, namun kurang menelusuri elemen nilai sosio budaya dasar yang membentuk komponen nilai komposit
tersebut. Oleh sebab itu, dalam perannya, Ormas dapat melakukan perekayasaan
dan penguatan nilai sosio budaya sebagai
integrator pada berbagai masyarakat daerah saat ini masih lebih tampak dalam
bentuk slogan-slogan politik yang miskin implementasi. Slogan politik yang tidak disertai pemahaman makna akan
mudah menyesatkan dan berimplikasi pada ”pembodohan” masyarakat banyak.
Ormas, dalam hal ini, dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam pendidikan
politik kebangsaan.
Upaya
mentransformasikan dari elemen nilai sosio budaya masyarakat terbelakang ke arah yang lebih maju
sepertinya belum dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh. Dari Tabel 2 dapat
ditunjukkan adanya perbedaan yang sangat kontras antara nilai
sosial budaya masyarakat yang mengarah pada
kemajuan atau keterbelakangan. Jika Ormas tidak berhasil membantu upaya mentransformasikan elemen nilai
sosial budaya, dari yang terbelakang ke
arah maju, maka akan menjadikan Bangsa Indonesia dalam situasi “mandeg”. Pada
gilirannya, hal ini akan menjadikan masyarakat Bangsa Indonesia senantiasa tertinggal karena tidak mempunyai daya
saing dalam pergaulan masyarakat dunia (“terbuka”). Masyarakat multi-kultural, sebagaimana banyak dijumpai pada berbagai daerah di
Indonesia, seharusnya menunjukkan ciri masyarakat yang terbuka dan siap
bertarung di arena ”pasar bebas”.
PENGUATAN
MANAJEMEN SOSIAL
Mengingat Ormas mejadi bagian dari “urat nadi”
kehidupan masyarakat, maka peran Ormas dalam penguatan manajemen sosial sangat
diperlukan. Substansi manajemen sosial dalam tatanan masyarakat di tingkat
bangsa umumnya dapat dikaitkan dengan pengambilan keputusan bersama; melibatkan
banyak pihak. Umumnya kegagalan dalam pembangunan karena terabaikannya aspek
ini. Kegiatan pembangunan adalah bagian dari penggunaan ruang publik dan
melayani kepentingan publik. Dengan demikian, penyelenggaraan kegiatan
pembangunan harus melibatkan banyak pihak; baik sejak perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pengevaluasian. Ketika pembangunan bangsa mengabaikan kepentingan
etnis atau masyarakat pendukungnya, maka peluang untuk berhasil akan sangat
kecil. Nilai sosio budaya masyarakat harus dijadikan “enerji esensial”
pembangunan nasional yang bersifat multi dimensional.
Seringkali setiap pemecahan masalah dalam
pembangunan dihadapkan pada masalah baru. Faktor yang esensial dalam pemecahan
secara menyeluruh dan sistematik dalam pembangunan karakter Bangsa Indonesia adalah
pada soft power yang terbangun dalam
sistem masyarakat (yang salah satunya) digerakkan oleh Ormas. Istilah “jalan
buntu” sering dihadapi dalam pembangunan karakter Bangsa Indonesia yang
melibatkan peran Ormas. Aspek soft power
yang digerkkan oleh Ormas dalam penyelenggaraan pembangunan dan pembentukan
karakter Bangsa Indonesia menjadi sangat penting. Dengan kata lain bahwa pembangunan
yang hanya mengandalkan kemajuan fisik tidak memberikan hasil yang memuaskan di
bidang daya saing kolektif masyarakat dan pencapaian kehidupan yang lebih baik
(“terhormat”). Dalam pespektif pembangunan
kehormatan dan daya saing kolektif, peran Ormas dalam penguatan aspek soft power menjadi sangat penting.
Istilah
soft power umumnya dikaitkan dengan peran
Ormas dalam penguatan modal sosio budaya pada tatanan suatu
masyarakat madani (civil society)
yang pluralistik. Dalam kaitan ini,
peran Ormas dalam penguatan manajemen sosial termasuk
sebagai salah satu strategi pengguatan dan pendayagunaan nilai sosio budaya
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan pembentukan kembali karakter
Bangsa Indonesia. Manajemen sosial ini bukan hanya cocok untuk melakukan penguatan
nilai sosio budaya pada masyarakat etnis (yang relatif homogen), melainkan juga
cocok untuk pengintegrasi masyarakat yang
bersifat pluralistik di tingkat bangsa. Dengan kata lain manajeman sosial merupakan bagian dari
penerapan asas good governance
(Solihin, 2005) dalam pemacuan kemajuan suatu masyarakat yang
hal ini akan memerlukan kontribusi dari Ormas. Dapat dikatakan bahwa peran Ormas dalam
penguatan manajemen sosial merupakan
hal yang sangat menentukan dalam
penyelenggaraan pembangunan dan penguatan identitas Bangsa Indonesia.
Elemen manajemen sosial yang dianggap esensial meliputi
tujuh aspek (Tabel 3), yaitu: transparansi, akuntabilitas, rasional,
keterbukaan untuk diaudit secara publik (public
open audit), adaptif terhadap perubahan (faktor internal dan eksternal),
dan diterapkannya asas keilmuan (”scientific
merit”). Jika dicermati elemen manajemen sosial ini mempunyai banyak kemiripan
dengan tata kelola yang baik (”good
governance”). Pada berbagai kasus pengamatan penulis di berbagai daerah
dapat dikemukakan bahwa “kecerdasan” Ormas dan masyarakat
dalam menilai penyelenggaraan pemerintahan sudah relatif tinggi. Hanya saja, Ormas belum menjadi jalur efektif dalam
menyampaikan aspirasi atau ketidak-setujuannya pada berbagai elemen civil society di tingkat pemerintahan desa,
daerah, dan pusat. Sementara
itu, elemen demokrasi memang telah
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan lembaga tinggi
negara, masih dominan pada aspek
formalitas dan prosedural.
Tabel 3. Manajemen sosial sebagai faktor
penguatan nilai sosio budaya dalam tubuh Ormas
KUAT-PROGRESIF
|
ELEMEN
|
LEMAH-TERBELAKANG
|
Sangat tinggi
|
Transparansi
|
Relatif rendah
|
Sangat kuat
|
Akuntabilitas
|
Relatif lemah
|
Keharusan
|
Demokrasi
|
Opsional
|
Sangat tinggi & menjadi keharusan
|
Rasional
|
Relatif rendah & bersifat opsional
|
Sangat diperlukan
|
Open audit
|
Tidak terlalu diperlukan
|
Relatif cepat & cenderung
sangat akurat
|
Adaptasi terhadap perubahan
|
Relatif lambat & cenderung tidak akurat
|
Mutakhir & keharusan
|
Ilmu Pengetahuan
|
Seadanya & opsional
|
Jika Ormas mampu melakukan penguatan sistem manajemen sosial yang baik, maka hal
ini akan memberikan kekuatan kontrol masyarakat yang lebih baik terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, peluang terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan jabatan
publik akan relatif mudah dikendalikan dan diatasi. Implikasi serius dari tidak
diterapkannya sistem manajemen
sosial adalah lemahnya penegakkan hukum dan kode etik pada penyelenggaraan
lembaga publik, terutama pada lembaga pemerintahan dan penegakkan hukum.
Sebagai gambaran bahwa budaya korupsi yang saat ini masih menjadi ”musuh
publik” (public enemy) ternyata juga
menjadi hal yang jamak dijumpai dalam penyelenggaraan pembangunan. Karena lemahnya konrol publik, kekuatan budaya
”rasa malu” tidak mampu membendung tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan
kewenangan pada lembaga eksekutif dan lembaga negara lainnya. Di tingkat nasional, elit politik dan lembaga legislatif
tergolong yang paling parah dalam penerapan asas
good governance (Pranadji, 2009), khususnya penerapan sistem
menajemen
sosial.
Kemiskinan
dan ketidak-adilan sosial yang masih menggejala luas pada
kehidupan masyarakat Bangsa Indonesia, hal ini merupakan indikasi belum efisien dan efektifnya sistem
penyelenggaraan pembangunan. Hal ini banyak diinformasikan oleh
Ormas kepada masyarakat luas. Gejala distrust (ketidak percayaan) masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan
dan lembaga politik sudah tidak dapat disembunyikan lagi. Media massa
elektronik dan cetak di daerah telah menyampaikan berbagai berita tentang masih
lemahnya manajemen sosial yang tekait dengan kinerja lembaga pemerintahan dan lembaga
politik. Bahkan akhir-akhir ini berita miring
tentang Ormas juga mulai tersebar luas.
Gambaran ini menunjukkan bahwa penerapan manajemen sosial dalam Ormas
dan tatanan masyarakat madani di
berbagai daerah dalam penyelenggaraan pembangunan desa dan daerah masih sangat lemah.
(Hal ini perlu dilakukan pencermatan dalam evaluasi terhadap peran Ormas).
Secara
sosiologis, gejala tindak korupsi merupakan penyebab hulu munculnya gejala
kemsikinan dan ketidakadilan pada berbagai masyarakat di bebagai
daerah. Dibandingkan dengan penyelenggaraan
manajemen sosial di negara lain, pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masih jauh dari efisien. Dengan menggunakan
indikator praktek korupsi, manajemen sosial pada berbagai daerah di Indonesia
tergolong sangat buruk. Masih mewabahnya budaya korupsi yang merusak identitas
dan kehormatan masyarakat Bangsa dan juga pada masyarakat di berbagai daerah adalah terkait dengan tidak diterapkannya
asas transparansi dan open audit dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan lembaga publik lainnya. Dapat dikatakan bahwa Ormas di berbagai daerah di Indonesia pun sudah banyak terjangkit budaya korupsi yang parah.
Penggunaan jargon ”siapa yang kuat adalah siapa yang menang” masih menjadi nggenjala
luas dalam penyelenggaraan manajemen
sosial pada berbagai Ormas di tingkat desa, daerah, dan pusat. Elemen
rasionalitas dan ilmu pengetahuan dalam manajemen sosial dalam
tubuh Ormas cenderung masih cenderung
tidak diperlukan dan diabaikan. Istilah ”sok ilmiah” sering dikemukakan oleh para
penyelenggara lembaga pemerintahan dan politik terhadap Ormas. Banyaknya aktor bintang film menjadi pejabat dan
anggota legislatif di daerah menunjukkan bahwa aspek populis lebih diutamakan
dibandingkan dengan aspek kompetesi dalam pemecahan masalah yang didukung ilmu pengetahuan. Ormas dapat melakukan
pencermatan terhadap partai politik yang
banyak terjebak dalam “budaya pragmatis”
sangat penting, terutama terkait dengan dalam memberikan penilaian bahwa aspek ”populis” lebih menjanjikan untuk
dijadikan menu pilihan masyarakat dalam pemilihan
umum dan pemilu-kada
dibandingkan dengan aspek kompetensi.
PENGUATAN
KEPEMIMPINAN DAN KEARIFAN LOKAL
Jika ingin melihat gambaran
atau karakter (kehidupan) suatu masyarakat, maka lihatlah (kearifan)
apa yang secara konsisten dislogankan dan dilakukan
para Ormas dan pemimpinnya.
Degradasi nilai sosial budaya bukan saja menggejala
luas di kalangan Ormas, hal ini tercermin juga pada kehidupan masyarakat pluralisitik
(Bangsa Indonesia). Maraknya globalisasi ekonomi dan kehidupan hedonik menjadi
pemicu dan sekaligus penyebab terjadinya degradasi nilai sosio budaya pada kehidupan
Ormas, dan merembes pada kehidupan masyarakat luas. Kecenderungan degradasi
nilai sosio budaya ini sulit diatasi tanpa upaya khusus yang melibatkan peran
Ormas. Ada dua hal yang dinilai efektif
untuk mencegak degradasi nilai sosio budaya yang terjadi di kalangan Ormas,
yaitu: penguatan kepemimpinan, dan penguatan kearifan lokal (termasuk melalui
jalur pendidikan). Kepemimpinan dan kearifan lokal dalam tubuh Ormas adalah
laksana sepasang sayap pada seekor burung; jika satusayap patah, tidak akan
banyak gunanya sayap yang lain.
Aspek kepemimpinan
menjadi elemen esensial bagi peran Ormas dalam penyelenggaraan pembangunan.
Aspek ini juga akan berperan efektif efektif sebagai pembentuk identitas dan penguatan kearifan
lokal dan kehidupan masyarakat yang digerkkan Ormas. Dapat dikemukakan bahwa suatu masyarakat yang cepat maju umumnya melibatkan
peran Ormas yang dipimpin oleh seorang yang
mempunyai ciri kempimpinan progresif atau kuat. Ditinjau secara sosiologis,
khususnya perubahan sosial terencana (social
planned change; Poensioen, 1969), peran kepemimpinan dalam
Ormas sangatlah besar dalam
memajukan masyarakat; leadership as a
prime mover. Dari sudut pandang optimistik dan visioner cenderung
menempatkan bahwa peran pemimpin Ormas sebagai penentu kemajuan daerah
sangatlah besar. Napoleon Bonaperte mengatakan
bahwa untuk mengejar kemajuan, suatu masyarakat yang lemah (bermental ”domba”)
dapat dipacu untuk cepat maju jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang
berkarakter kuat (sebagaimana seekor ”singa”).
Pada masyarakat yang kompleks
(bangsa), terutama masyarakat yang multikultural, sangat
memerlukan hadirnya seorang pemimpin Ormas
yang mempunyai visi dan misi yang kuat untuk
kemajuan. Tidaklah masuk akal, jika tanpa kehadiran seorang pemimpin Ormas
yang kuat, gerakan massa akan membawa perubahan
atau kemajuan masyarakat Bangsa Indonesia. (Kasus Pak Amien Rais, masa
reformasi; dan Bung Karno, pada jaman perjuangan; merupakan pentingnya
kehadiran pemimpin Ormas dalam kemajuan Bangsa Indonesia). Tidaklah pula masuk akal kehadiran seorang
”bermental domba” akan mampu memimpin dan menggerakkan sekumpulan anggota
masyarakat adat dan daerah
yang berkarakter kuat (layaknya sekumpulan ”singa”) menuju kemajuan besar.
Gejala kemunduran dan disintegrasi banyak diakibatkan oleh lemahnya faktor
kepemimpinan dalam tubuh Ormas. Kemajuan masyarakat Bangsa Indonesia di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik sangat
membutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang kuat dan progresif dan
diterima secara lintas adat dan etnis.
Janganlah bermimpi masyarakat Bangsa
Indonesia akan cepat maju jika tidak melibatkan
pimpinan Ormas yang mempunyai visi dan misi
kuat, dan mempunyai kemampuan besar dalam menerapkan manajemen sosial yang
baik. Banyaknya tokoh
Ormas yang mempunyai kompetensi
sebagai manajer sosial yang memadai namum belum mampu menjadi penggerak kemajuan masyarakat. Pemimpin Ormas
dapat diibaratkan sebagai salah
satu ”pembawa obor” (membimbing dan
mengarahkan), sedangkan seorang manajer adalah orang yang menjalankan pekerjaan
di bawah cahaya obor. Tanpa arahan dan ”bimbingan” pimpinan
Ormas yang jelas, maka keberadaan
seorang manajer dalam menjalankan pekerjaan untuk ikut
memajukan kehidupan masyarakat menjadi kurang efektif. Biasanya seorang pemimpin yang
baik dalam bekerja menggunakan hati (otak ”kanan”), sedangkan seorang manajer
mengunakan rasio (otak ”kiri”).
Tabel 4. Perbedaan ciri pemimpin yang progresif dan
terbelakang dalam Ormas
PROGRESIF
|
ELEMEN
|
TERBELAKANG
|
Jangka panjang
|
Visi
|
Jangka pendek
|
Piawai dan dialogis
|
Komunikasi
|
“Bisu” dan monolog
|
Altruistik (“murah hati”)
|
Trust Building
|
Egoistik (“cluthak”)
|
Di atas rata-rata
|
Unggul diri
|
Medioker (“pas-pasan”)
|
Solidarity maker
|
Solidaritas
|
Divide et empera
|
Rasional & sistematik
|
Cara berpikir
|
Emosional & difuse
|
Demokrasi dan memihak pada golongan lemah
|
Artikulasi
|
Otoriter dan memihak kalangan (elit) tertentu
|
Jebakan kepentingan pragmatis dalam kepemimpinan
Ormas akan menggiring keseluruhan Ormas mengunci (“jalan buntu”) kemajuan
masyarakat Bangsa Indonesia. Hingga saat ini nilai
sosial budaya primordial
(”askriptif”) masih mendominasi kehidupan Ormas. Masih
menjadi ”mimpi” masyarakat desa dan daerah
yang umumya serba lemah dalam gerakan politik praktis bahwa mereka mendambakan
datangnya pemimpin Ormas sebagai ”Ratu Adil” (Kartodirdjo, 1984). Dari pengamatan empirik di bidang politik, kasus Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil
Presiden, dapat dikatakan bahwa secara umum pada berbagai masyarakat daerah di
Indonesia masih memerlukan figur pemimpin Ormas sebagai pengintegrasi
masyarakat multikultural. Partai politik yang diharapkan sebagai perwujudan
kehendak dan aspirasi masyarakat secara politik dapat diatasi melalui penggodogan
dalam tubuh Ormas yang teruji melalui kehadiran pemimpinnya yang diterima masyarakat.
Elemen kepemimpinan pada diri seorang pemimpin Ormas
akan mempengaruhi kemajuan masyarakat Bangsa
Indonesia. Sebagai pemimpin
Ormas, ia seharusnya bukan saja sebagai
seorang yang harus dihormati, melainkan juga sebagai representasi masyarakat
secara keseluruhan, Hanya saja, hingga kini kehadiran seorang pemimpin Ormas
masih belum memungkinkan diproses melalui program
(”pendidikan”) khusus. Lebih sering ditemukan bahwa kehadiran pemimpin Ormas
pada berbagai daerah di Indonesia sebagai hasil
dari ”ciptaan alam” dan bukan dari hasil kompetisi yang bebas dan terbuka.
Demikian juga yang dijumpai pada berbagai kasus di banyak partai politik,
pengkaderan kepemimpinan tingkat tinggi tergolong sangat lemah. Dalam masyarakat politik, gejala disintegrasi bukan
saja terjadi karena perbedaan latar belakang kultural, melainkan juga karena
perbedaan pandangan politik praktis.
Universalitas
ciri kepemimpinan dalam masyarakat yang pluralistik sangatlah dibutuhkan.
Sebagai ilustrasi, bisa saja seseorang mampu menunjukkan kehebatan dalam bentuk
keberhasilan dalam memimpin masyarakat suatu kabupaten atau propinsi yang
tingkat keragaman kulturalnya relatif rendah. Namun ketika seseorang tersebut
diangkat menjadi Menteri atau jabatan publik lainnya, kehebatannya bukan saja
bisa menjadi pudar sama sekali, melainkan menimbulkan gejala disintegrasi pada
masyarakat yang dipimpinnya. Homogenitas masyarakat menjadi faktor ”penghijab”
pandangan seorang pemimpin Ormas yang lemah dalam visi, misi,
serta solidaritas. Sebagai pengintegrasi dan penghela kemajuan masyarakat
daerah yang bersifat multikultural, seorang pemimpin Ormas
dituntut mempunyai ciri sebagai ditunjukkan pada
Tabel 4.
Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Ormas
yang ada pada berbagai daerah di Indonesia umumnya
masih lebih banyak menggambarkan ciri masyarakat terbelakang. Baik di bidang ekonomi,
politik, sosial, dan budaya; jarang ditemukan
seorang pemimpin Ormas yang mampu memerankan diri
secara signifikan sebagai pengintegrasi (solidarity
maker) masyarakat yang bersifat multikultural. Selain itu, kelemahan utama
pemimpin Ormas di Indonesia adalah tidak
adanya kesungguhan dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pengambilan
keputusan. Penggunaan cara berpikir rasional dan sistematik sering
ditenggelamkan dalam kekakuan birokrasi dan administrasi yang menunjukkan ciri
kepemimpinan Ormas yang masih cenderung feodalistik.
Ciri
kepemimpinan Ormas progresif untuk kemajuan
masyarakat paling tidak mencakup tujuh elemen. Bervisi jangka panjang merupakan
elemen yang harus ada pada diri seorang pemimpin Ormas. Kemampuan mengkomunikasikan visinya, sehingga
menjadi visi bersama (”share vision”),
merupakan elemen yang harus dipunyai oleh seorang pemimpin
Ormas. Adalah sulit diterima akal
sehat jika seorang pemimpin Ormas hanya mengandalkan kekuatan
dalam menghemat kata-kata, apalagi jika hanya sebagai alasan untuk menutupi
kelemahan dalam ketidak-mampuan dalam berkomunikasi secara lisan. Elemen
komunikasi tidak bisa dipandang hanya sebagai faktor pelengkap pada diri
seorang pemimpin Ormas. Seorang pemimpin Ormas
yang cacat mata, namun pandai berkomunikasi,
kemungkinan masih jauh lebih baik dibanding pemimpin Ormas
tidak cacat namun tidak mampu berkomunikasi dengan
baik secara lisan.
Sifat
altruistik (lawan dari ”egoistik”) sangat dibutuhkan pada diri pemimpin Ormas
yang gandrung kemajuan. Kandungan altruistik ini
sangat besar pengaruhnya untuk membangun kepercayaan (”trust”) masyarakat banyak terhadap kekuatan dalam menjalankan
kepemimpinannya untuk kemajuan Bangsa Indonesia. Dengan kepercayaan yang tinggi, kedaulatan masyarakat
secara individu dan kolektif akan diberikan secara ihlas pada diri seorang
pemimpin Ormas. Pada diri seorang pemimpin Ormas
perlu ada sesuatu yang dapat diunggulkan dan
dibanggakan, yang fungsinya untuk membedakan bahwa dirinya bukan orang
kebanyakan (”medioker”). Seorang pemimpin Ormas yang tidak mempunyai kelebihan
tertentu, dan apalagi egois, akan tidak dipatuhi oleh pengikutnya dan
masyarakat banyak.
Tiga
elemen lain yang perlu dikembangkan pada diri seorang pemimpin
Ormas, yaitu: pertama,
menyukai terwujudnya persatuan dan kerukunan (”solidarity maker”). Seorang pemimpin Ormas yang sering menimbulkan perbedaan pendapat yang
tajam dan menjurus pada disintegrasi sosial bukanlah pemimpin yang dapat
membawa pada kemajuan daerah. Kedua, mengajak setiap tindakan atau
keputusan dilandaskan pada rasionalitas dan logika yang sistematik. Seorang
pemimpin Ormas yang lebih banyak membangun
mitos dan bertindak acak akan banyak menimbulkan kebingungan dan sulit diikuti
secara konsisten oleh pengikutnya. Ketiga, memberikan teladan pada
pengikutnya tentang pentingnya suatu tindakan atau pengambilan keputusan secara
kolektif ditempuh melalui cara-cara yang demokratis. Pemimpin Ormas
yang bersikap otoriter bukan saja akan ditinggalkan
pengikutnya, melainkan akan membawa masyarakat pada kemunduran.
Kehadiran kepemimpinan Ormas di tingkat akar rumput
dapat menjadi benteng degradasi nilai sosial budaya di masyarakat Bangsa
Indonesia. Masyarakaat akar rumput umumnya ada di tingkat kampung, dukuh, desa,
nagari atau sejenisnya. Antara pemimpin Ormas dan yang dipimpin terdapat
hubungan emosional dan rasional, terutama untuk kemajuan bersama. Umumnya
penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan seseorang di pedesaan dan daeah
saat ini disebabkan adanya keteladanan pada diri orang tersebut. Fungsi
kepemimpinan Ormas yang diterima masyarakat mencakup:
(1)
Memperkenalkan nilai sosial budaya (kearifan lokal)
yang sesuai untuk kemajuan daerah atau masyarakat setempat melalui peneladanan
diri; bukan hanya dalam penyampaian secara oral atau tulisan.
(2)
Mempertahankan nilai sosial budaya yang dinilai
sesuai untuk kemajuan masyarakat setempat. Dengan menggunakan nilai sosial
budaya setempat, penerimaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan menjadi
lebih efektif.
(3)
Mengembangkan nilai sosio budaya setempat (secara
kreatif) yang sesuai dengan tuntutan kemajuan bersama di wilayah setempat. (Hal
ini penting dilakukan, agar keterasingan masyarakat terhadap simbolisasi peyelenggaraan
pembangunan sejauh mungkin dapat dihindari).
(4)
Kombinasi kearifan lokal dan kepemimpinan yang
sesuai dapat ditunjukkan dengan hal-hal seperti: terlindunginya kalangan yang
lemah (dari ancaman penindasan kalangan kuat di masyarakat), terperhatikannya
kalangan miskin dari ancaman kalangan ekonomi kuat, dan penegakan hukum (untuk
mewujudkan keadilan).
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
(1)
Karakter Ormas dan integritas bangsa ibarat dua muka
dari sekeping uang logam: yaitu melalui penguatan ideologi-konstitusional dan
sosio-budya bangsa Upaya memajukan dan
membentuk karakter Bangsa Indonesia tidak tergantung hanya pada ketersediaan
bantuan dan kemajuan fisik. Nilai sosio budaya merupakan inti dari enerji
kemajuan dan pembentukan karakter masyarakat Bangsa indonesia yang pluralistik.
Tanpa dilakukan penguatan terhadap nilai sosio budaya ke arah yang lebih
progresif dalam tubuh Ormas, kemajuan dan pembentukan karakter Bangsa Indonesia
akan sulit diwujudkan. (Penguatan nilai sosio budaya yang dimaksud mencakup
juga dalam lingkup penerapannya dan penyelengggaraan kegiatan dalam tubuh Ormas).
(2)
Kehidupan Ormas di Indonesia masih belum mampu
mengatasi gejala degradasi dan
keterasingan dengan nilai ideologi-konstitusional serta sosio budaya progresif.
Ormas di Indonesia bukan saja banyak yang terjebak dalam krisis identitas yang berekepanjangan, melainkan juga mengalami kemandegan
perfan dalam kemajuan dan pembentukan karakter Bangsa Indonesia. Secara
historis, terbentuknya Ormas berakar pada kerelaan masyarakat dalam rangka
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, adil dan sejahtera. Langkah untuk
mengatasi degradasi nilai ideologis dan sosial budaya bangsa secara efektif dan
meluas perlu dimulai dari tubuh Ormas.
(3)
Gejala melemahnya
integritas bangsa dapat dilacak melalui semakin meluasnya socio-political distrust dalam keseluruhan elemen civil society di Indonesia.
Terjadinya pendangkalan pemahaman serta penerapan
nilai ideologi-konstitusional dan sosial budaya progresif dalam tubuh Ormas ditunjukkan oleh masih banyaknya tindak
pelanggaran hukum dan budaya korupsi dalam tubuh jajaran pemerintahan daerah, serta
melemahnya sendi-sendi pengintegrasi
kehidupan politik dan masyarakat etnis/adat dan daerah. Aspek kriris lingkungan, keterbelakangan ekonomi, kedaulatan energi, pangan ketidak-adilan dan ketimpangan sosial, politik dan budaya dapat
dijadikan indikator dan pintu masuk untuk melihat lebih mendalam terhadap gejala melemahnya pemahaman ideologi-konstitusional dan sosial
budaya di kalangan elit dalam tubuh sebagian besar Ormas di Indonesia.
(4)
Dilihat dari dimensi sosio-budaya Paling tidak ada 3 (tiga) faktor soft power yang perlu dilakukan dalam
penguatan Ormas, yaitu
nilai sosio budaya, kepemimpinan
sosial, manajemen sosial, dan
kearifan (moralitas) lokal.
Lemahnya kepemimpinan berkarakter dan buruknya penerapan manajemen sosial dalam
tubuh Ormas telah menjadi pintu masuk terjadinya “serangan budaya asing’ terhadap
nilai sosio budaya Bangsa Indonesia. Penguatan pemahaman nilai
ideologi-konstitusional, sosio-budaya progresif, aspek kepemimpinan, dan manajemen
sosial dalam tubuh Ormas perlu t dijadikan salah satu upaya strategis penguatan
kembali integritas (modal) sosio budaya Bangsa Indonesia ke depan.
(5)
Aspek kepemimpinan Ormas
merupakan salah satu elemen esensial
dalam penguatan karakter Ormas dalam
peningkatan integritas kebangsaan Indonesia. Dengan kata lain bahwa kepemimpinan
Ormas berperan sangat penting sebagai akselerator
dan dinamisator dalam penguatan keseluruhan elemen integritas (modal) sosio budaya
Bangsa Indonesia. Jika kepemimpinan
Ormas progresif dapat segera
diwujudkan melalui perekayasaan sosial budaya secara sistematik dan terencana dengan baik, hal ini akan sangat
mempercepat terwujudnya penguatan integritas (modal) sosio
budaya bangsa Indonesia. Pada gilirannya
penguatan ini bukan saja akan sangat penting dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan,
melainkan juga untuk membangun kembali karakter Bangsa Indonesia dalam mewujudkan
cita-cita kemerdekaan, yaitu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Harrison, E.H. and S.P. Huntington. 2000. Cultures
Matters: How Values Shape Human Progress. Basic Books. New York.
Kartodirdjo, S. 1984. Ratu Adil. Penerbit Sinar
Harapan. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Pranadji, T. 2006. Penguatan
Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Lahan
Kering: Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten
Gunungkidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal
Agro Ekonomi, 24(2): 178-206, Desember 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Pranadji, T. 2007. Good
Governance dalam Manajemen Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
dalam Membangun Kemampuan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Pranadji, T. 2009. Partai
Politik dan Kualitas Lembaga Legislatif. dalam Memahami Hukum: Dari
Konstruksi sampai Implementasi. (editor: S. Ananto dan N. Triyanti). Rajawali
Pers. Jakarta.
Soekarno. 1963. Di Bawah Bendera Revolusi. Panitya
Penerbit Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama. Jakarta.
Solihin, D. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah:
Konsep, Strategi, tahapan dan Proses. Pendidkan dan Latihan Perencanaan
Pembangunan Ekonomi Daerah; Jakrta, 19 Juli 2005. Badan Pendidikan dan Latihan
Departemen Dalam Negeri. Jakarta.
Sorokin, P. 1964. Contemporary Sociological
Theories: The First Quarter of Twentieth Century. Harper and Row Publishers. New York.
Zuhro, R.S. 2011. Satu Dekade
Otonomi Daerah. Harian Suara Karya; halaman 1:1-2, Rabu 27 April 2011.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar