Senin, 17 Februari 2014

ekologi pertanian



EKOLOGI SOSIAL, KEBIJAKAN DAN ANCAMAN KETIDAK-BERLANJUTAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


Oleh: Tri Pranadji

Makalah disampaikan sebagai bahan diskusi Analisis Kebijakan untuk ”Revitalisasi Penelitian dan Pengembangan Pertanian” pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 14 Juni 2006, di Pusat Analisis Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Ahli Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanbian, Bogor.


The first principle of the 1992 Rio Declaration-that human beings are at the centre of concern for sustainable development-by taking full account of how population and society interact with the natural environment (Anonimous dalam POPNET, No.34, Spring, 2002). Global People’s Forum in Johannesburg (2002) stated that organizations of civil society have a central role to play in the translation of the Rio Principles and Agenda 21 into concrete programs, projects and implementation strategies for sustainable development. We affirm that solidarity and partnerships for sustainable development are those entered into on the basis of clearly defined human needs and related goals, objectives and actions for the elimination of poverty and the enhancement and restoration of the physical, social, and universal spiritual environment. Partnerships for sustainable development are those entered into on the basis of mutual respect, trust, transparency, joint-decision-making, accountability and a shared vision of a healthy environment.


PENDAHULUAN

            Interaksi khusus antara sistem masyarakat dan ekosistem dapat disebut ekologi sosial (Rambo, 1982), dan beberapa pakar lain sering menyebutnya sebagai human ecology atau ekologi manusia. Kegiatan pertanian, baik tradisional maupun modern, merupakan bagian dari upaya mayarakat dalam mengelola ekosistemnya. Berkaitan dengan kegiatan pertanian ini, kajian ekologi sosial menjadi sangat diperlukan untuk mencermati dan memprediksi apakah upaya masyarakat atau pembangunan pertanian telah mengarah pada pertanian berkelanjutan ataukah justru malah sebaliknya. Kebijakan dalam pembangunan pertanian dapat dipandang sebagai upaya untuk mencampuri keseimbangan interaktif antara masyarakat dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan kesejahteraan hidup. Keseimbangan ekologi sosial akan berubah dengan adanya kebijakan pemerintah, dan perubahan tersebut tidak berarti sejalan dengan terwujudnya pembangunan (pertanian) berkelanjutan. Seringkali kebijakan pembangunan menghasilkan ketidak-seimbangan yang justru mengancam keberlanjutan pembangunan pertanian itu sendiri.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan bahwa pembangunan pertanian di Indonesia pasca kemerdekaan belum menempatkan ekologi sosial sebagai bagian strategis dari pembangunan pertanian. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem pertanian di Indonesia saat ini sudah sangat parah (”lampu merah”), dan hal ini mempunyai implikasi sangat serius terhadap keberlajutan (dan kinerja) pembangunan pertanian. Jika dilihat dari tupoksi Departemen Pertanian, maka kerusakan ekosistem tersebut sangatlah jauh dari otoritas Departemen Pertanian. Namun jika dilihat dari kompetensi aparat Departemen Pertanian, khususnya peneliti di Badan Litbang Pertanian, maka hal ini seharusnya menimbulkan keprihatinan yang sangat mendalam. Visi dan strategi pembangunan pertanian ke depan hendaknya sangat memperhatikan aspek interaksi antara sistem masyarakat dan ekosistem, yang selanjutnya disebut sebagai ekologi sosial.
Dilihat dari kematangan kebudayaan lokal dan daerah dalam mengelola ekosistemnya dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah tua. Namun dilihat dari kesiapannya dalam menghadapi keterbukaan ekonomi, politik dan pemerintahan, dan perubahan dan tuntutan ekosistem masyarakat global; maka sangat terasa bahwa, sebagai satu komunitas negara, masyarakat Indonesia masih sangat muda atau bahkan balita. Kerusakan ekosistem negara katulistiwa dan kepulauan ini telah menjadi perhatian dunia, bersamaan dengan rendahnya tingkat kesejahtaeraan masyarakatnya (Indeks Tingkat Kehidupan Manusia Indonesia termasuk paling rendah di antara negara dunia ketiga). Recocery krisis ekonomi seyogyanya tidak hanya ditangani dari dimensi moneter atau perdagangan internasional, melainkan juga recovery di bidang pemeliharaan atau peningkatan kapasitas ekosistem. Semua ilmu, baik ilmu sosial (mencakup ekonomi, politik dan hukum) dan ilmu pasti-alam (mencakup biologi, fisika, kimia dan matematika), dipelajari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas dan berkelanjutan.
            Kesadaran tentang pentingnya ekosistem dalam pembangunan sejalan dengan masuknya ekonomi pasar dalam kehidupan masyarakat feodal di pedesaan. Pengenalan tentang ekosistem dalam pembangunan pertanian di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari semakin intensifnya interaksi antar peradadaban Eropa dan Indonesia melalui percaturan ekonomi perdagangan internasional dan politik. Sejak masuknya hegemoni ekonomi dan poiltik masyarakat Eropa, melalui penjajahan ekonomi (dan politik) oleh Belanda dan Inggris, mulai dirasakan tentang pentingnya mengkaitkan kegiatan pembangunan ekonomi politik dan ekosistem. (Justru saat ekonomi Barat masuk melalui peradaban masyarakat Amerika, kesadaran tentang pentingnya ekosistem dalam pembangunan nasional menjadi jauh mundur ke belakang).
Ada dua hal yang mendasar, terkait dengan pembangunan model (penjajahan) bangsa Eropa di Indonesia, yaitu bahwa pembangunan haruslah menjauhkan diri dari pemiskinan manusia (orang pribumi memang tidak boleh kaya, namun sistem pemerintahan mengharamkan jika terjadi kelaparan pada masyarakat pribumi) dan pemiskinan ekosistem dan sumberdaya alam. Pendeknya, kepentingan memperoleh nilai  tambah ekonomi (melalui manajemen penjajahan) memang sebagai tujuanutama, namun hal itu tidak boleh dicemari dengan pemiskinan manusia dan ekosistem setempat.
Dua pertanyaan mendasar yang belum dapat dijawab dalam pembangunan pertanian, yaitu pemiskinan manusia (”masyarakat”) dan pemiskinan ekosistem (dan sumberdaya alam). Sejak Kelompok Roma (Club of Rome, Komisi Willy Brant, mantan Kanselir Jerman Barat, awal 1970-an) hingga Rio de Janeiro Conference (1982) mulai dilakukan penekanan perhatian terhadap dua aspek besar, yaitu kerusakan ekosistem (akibat penghambaan pada pembangunan ekonomi dan perlombaan senjata dalam rangka hegemoni global) dan kemiskinan masyarakat di negara-negara dunia ketiga. Paling tidak ada empat faktor yang dapat dijadikan jendela untuk melihat masalah ini, yaitu: kebijakan pemerintah, pertarungan hegemoni akademik, sejarah, dan globalisasi. Uraian di bawah ini menjelaskan secara lebih rinci atas faktor-faktor yang dimaksud


PERUBAHAN EKOSISTEM SECARA HISTORIS

Perubahan ekosistem umumnya tidak terlihat secara seketika, melainkan melalui proses gradual yang memakan waktu lama. Sebagai gambaran, penghancuran ekosistem hutan magrove di pantai-pantai Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi tidak akan mudah dilihat dari tahun ke tahun, namun akan terlihat sangat jelas dari dekade ke dekade. Demikian juga proses terjadinya pendangkalan waduk atau bendungan besar yang sangat penting untuk mendukung kegiatan perekonomian berbasis pertanian padi sawah. Kajian sejarah (historis) sangatlah penting untuk mengobservasi perubahan ekosisitem. Ada 2 aspek yang terkait dengan sejarah, yaitu: (1) perubahan ekosistem secara lintas waktu, dan (2) kebijakan pemerintahan dari waktu ke waktu yang terkait langsung dengan pentingnya memasukkan faktor perubahan ekosistem dalam pembangunan pertanian.

Perubahan Ekosistem

Perubahan ekosistem secara lintas waktu sangat kentara, antara lain ditandai adanya perluasan pertanian sawah di Jawa dan luar Jawa (terutama di Jaw dan Sukawei Selatan) sebagai bagian dari strategi politik subsistensi tingkat negara, daerah, dan komunitas lokal. Sejarah perkembangan pemerintahan kerajaan di Jawa terkait erat dengan politik keamanan subsistensi, yaitu melalui kebijakan kemandirian dalam produksi pangan beras. Sesiapa yang menguasai beras merekalah yang akan menguasai rakyat (”masyarakat”). Keberhasilan mengkaitkan kemampuan dalammengelola ekosistem dan keamanan pangan masih sangat kuat untuk digunakan sebagai pengendali penyelengaraan pemerintahan ditingkat pusatdan daerah.
Terjadinya perpecahan dan dinamika kerajaan Jawa, sejak jaman Empu Sendok hingga penyerbuan Sultan Agung ke Batavia, sangat erat dengan pengelolaan ekosistem padi sawah. Hancurnya Kerajaan Gowa juga disebabkan oleh lemahnya penguasaan sektor hilir (usahatani padi sawah) di pedalaman Sulawesi Selatan (yang dikuasai masyarakat Bugis). Sewaktu David Speelman (?), bekerja sama dengan kerajaan Bugis pedalaman, pada abad 18 (?) menggempur bandar Gowa, maka setelah sekitar 5 tahn pperangan kerajaan Gowa tereliminasi dari politik perdagangan regional Indonesia Timur. Bandar Gowa diganti dengan Bandar Makassar. (Kejadian ini mirip digantikannya bandar Batavia, sebagai  pengelola sebagian besar kawasan laut Cina Selatan dan Selat Malaka, oleh Bandar Singapura pada Jaman Raflles; setelah Belanda dikalahkan Inggris, sebagai kelanjutan perang antara Inggris dan Perancis di daratan Eropa, jaman Napoleon Bonaparte).
Politik persawahan terkait erat dengan sentralisme kekuasaan dan politik. Jejak-jejak sejarah di Jawa, Sumatera dan Sulawesi menunjukkan bahwa daerah persawahan sebagai pusat kekuasaan, dan daerah lahan kering dan pegunungan sebagai daerah pinggiran. (Hal ini memiliki analogi sangat kuat dengan Jawa, sebagai pusat kekuasan, dan luar Jawa, sebagai daerah pinggiran kekuasaan). Masyarakat pegunungan bukan saja disimbolkan sebagai ”masyarakat atau sekumpulan orang tidak beradab” melainkan juga bahwa daerah pegunungan sebagai tempat pelarian politik atau tempat pembuangan rival politik yang tidak disukai penguasa saat itu.
Keterlambatan Pemerintahan Hindia Belanda membuka persawahan di Sumatera Timur pada akhir abad 19 harus dibayar mahal dengan terjadinya revolusi sosial (masyarakat setempat vs penguasa kebun; Pelzer). Pembangunan ekonomi berbasis perkebunan yang dibangunn Belanda menjadi porak-poranda disebabkan ketidak-waspadaan pemerintah Hindia Belanda dalam mengamankan ekonomi subsisten masyarakat buruh perkebunan. (Revolusi sosial tidak muncul secara masif di Jawa pada masa Daendles, karena kekuatan masyarakat madani di pedesaan Jawa masih cukup kuat jalur pengamanan ekonomi subsistensi).
Dokumen penelitian sejarah di Jawa yang dihasilkan Lombart (2000) dan de Graff (1996) menunjukkan bahwa ekosistem Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah,  pada abad 14-17 sangat bagus. Sungai-sungai besar di daerah-daerah pedalaman (DAS hulu), seperti Probolinggo (Jawa Timur) dan Boyolali (Jawa Tengah), masih dapat dilayari perahu-perahu kecil. Transportasi antara pesisir dan pedalaman menggunakan jalur sungai, mirip dengan beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera saat ini.

Kebijakan Pemerintah

            Kebijakan pemerintah di bidang pertanian sebelum masa penjajahan sebagian besar masih terfokus pada beras dan pangan. Pemerintahan masa kerajaan kuno, seperti Sriwijaya, Majapahit, Bugis atau Gowa, dan Mataram sangat beras sentris. Hanya sedikit pemerintahan kerajaan kuno yang mengandalkan basis ekonominya dari usaha (perdagangan) non-beras, seperti yang ditemui pada Kerajan Bima (NTB), Ternate dan Tidore. Kebijakan pengelolaan ekosistem yang terkait dengan pengembangan ekonomi pertanian non-beras baru berkembang setelah masyarakat Indonesia berinteraksi dengan peradaban negara luar melalui sistem perdagangan antar negara dan pertukaran budaya. Komoditas perdagangan non-beras mulai tampak berkembang setelah pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia berinteraksi dengan masyarakat Eropa, khususnya Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris.
Walaupun demikian sepertiya tetap saja berlaku semboyan bahwa sesiapa yang menguasai perdagangan beras maka merekalah yang akan menguasai perekonomian pertanian non-beras (hal ini agak kurang berlaku pada masa pemerintahan Inggris dan Portugis). Dapat dipahamai jika pengaruh buruk campur tangan dari dua negara tersebut tidak terasa begitu intensif, terutama dalam mengeksploitir daerah yang tidak padat penduduknya, seperti di Ternate dan Sulawesi Utara. Ekonomi beras sangat labor intensif, sementara ekonomi pertanian non-beras relatif tidak labor intensif.  Hal ini juga yang membedakan ekonomi kapitalis dan pra-kapitalis model Boeke).

           
PERTARUNGAN HEGEMONI AKADEMIK

Kebijakan dan jalannya pembangunan pertanian sangat tergantung pada sesiapa pakar atau kelompok ilmuwan yang ada di belakangnya. Kebiajkan bukan hanya tergantung pada kompetensi aparat yang menjalankan kebijakan di lapangan dan perancangan di atas meja, melainkan juga sangat tergantung juga pada mind set apa yang mewarnai setiap kebijakan pembangunan yang dijalankan pemerintah di sektor pertanian. Hadirnya mind set tenaga akademik dari kalangan tertentu (misalnya Mafia Berkeley) akan sangat berpengaruh terhadap konsep, strategi, pelaksanaan, dan penilaian keberhasilan pembangunan, termasuk di sektor pertanian. Hegemoni akademik biasanya terkait juga dengan agenda pertarungan politik global dan nasional. Birokrat pemerintah dan aparat Departemen Pertanian sering kali terlihat sebagai perpanjangan tangan kepentingan politik global dan operator kelompok-kelompok politik di luar departemen dari pada kesesuaian membangun kesejahteraan mayarakat Indonesia yang  sebaranya,.
Peran tenaga akademik pada pemerintahan Hindia Belanda di bidang pemeliharaan ekosistem sangatlah menonjol. Kesehatan ekosistem merupakan salah satu pilar akuntabilitas sistem penyelenggaraan pemerintahan hingga tingkat desa. Peran hegemoni akademik ”anti-ekosistem” mulai tampak menonjol pada masa pemerintahan Orde Baru, di mana kebijakan (sentralisme kekuasaan dan) pertumbuhan ekonomi lebih sangat diutamakan dibandingkan dengan kebjakan desentralisai dan pemerataan. Kebijakan yang terkait dengan pemeliharaan atau penguatan ekosistem hampir tidak dikenal kecuali sebatas wacana akademik di ruang seminar atau di ruang perkuliahan Universitas. Para pakar ekologi pun tidak lebih diposisikan sebagi pemerhati pasif masalah pembangunan pertanian dan pedesaan, dan itu pun jika pakar ekologi tersebut memiliki personal commitment dan integrity yang tinggi dalam mengamalkan ilmu dan kepakarannya.  .
Mind set para pakar yang ada di Departemen Pertanian dan Ekuin menjadi faktor penting yang mewarani ke arah mana atau strategi apa yang akan diterapkan dalam pembangunan pertanian. (Adakah ahli ekologi yang dimanfaatkan untuk pernacangan pembanguan pertanian secara holistik?). Hegemoni akademik sangat besar pengaruhnya dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian. Pada masa sekarang (sejak 3 dekade lalu) campur tangan kebijakan negara besar, terutama dari Blok Barat, terhadap kebijakan pembangunan sangatlah terasa. Hegemoni akademik ini tidak dapat dilepaskan dari sulitnya situasi yang dikembangkan oleh negara-negara besar di era perang dingin, yang kemudian dipertajam dengan semakin melunturnya kekuatan budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri (seperti cita-cita para founding fathers dan oendiri negara).


KEBIJAKAN YANG MENYIMPANG

            Kebijaksanaan yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan operasionalisasi  visi pembangunan sebagai suatu gerakan aktif untuk mensejahterakan kehidupan rakyat banyak di pedesaan. Bahwa secara operasional di lapangan kegiatan pembangunan seakan-akan dapat saja terlihat bersifat sektoral atau parsial, namun dalam jaringan kerja antar sektor kegiatan ini harus terarah untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Dewasa ini pergeseran dari perspektif holisme (lintas sektoral) menjadi partukularisme (sektoral dan bahkan sub-sektoral) sangatlah terasa.
            Dikaitkan dengan tujuan ideal membangun bangsa, maka kebijaksanaan yang menyimpang harus dilihat dari sejauh mana ketepatannya dikaitkan dengan tujuan pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Dimensi ekosistem yang mengalami perubahan drastis ke arah yang kurang menguntungkan, akibat pemanfaatan yang berlebihan (over-shoot) adalah bagian dari ancaman keberlanjutan pembangunan pertanian dan sekaligus kelangsungan hidup suatu bangsa. Suatu ekosistem yang rusak bukan saja akan menyebabkan stagnasi kegiatan pembangunan, melainkan juga dapat menyebabkan terjadinya loss generation atau bahkan kepunahan suatu masyarakat atau bangsa. Kompatibilitas pemeliharaan dan peningkatan ekosistem terkait dengan kebijakan di bidang: produksi dan pertumbuhan di sektor pertanian, ekonomi, politik (”sektarian”) dan pemerintahan (otonomi dan ”desentralisasi”), kebudayaan dan pertahanan dan keamanan (hankam).
            Beberapa kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam kebijakan pembangunan pertanian dapat diperhatikan dari  diperhatikan mencakup:
(1)               Ekosistem sebagai kekuatan dan sekaligus penyangga pertumbuhan produksi pertanian berkelanjutan. Sinergi antar faktor aktor lahan dan air, biodiversity, kekuatan masyarakat madani (civil society), dan good governance, terutama untuk penyediaan bahan pangan dan kebutuhan dasar manusia lainnya .
(2)               Penataan sistem politik dan pemerintahan, sebagai bagian dari good governance dan smart civil society dalam pengelolaan ekosistem, merupakan faktor dasar dari ekologi sosial di sektor pertanian. Sistem politik dan pemerintahan mencakup aspek merancang, menjalanan dan mengontrol pengelolaan ekosistem secara vertikal (Pusat, daerah, dan desa), lintas spasial, dan topografi (lintas DAS).
(3)               Kebijakan ekonomi politik yang pro keadilan dan pembangunan berkelanjutan berbasis ekosistem yang sehat. Saat ini belum ditemukan formula atau strategi kebijakan ekonomi politik yang dinilai cocok untuk mengkompromikan antara pendekatan pertumbuhan tinggi dan terpusat, namun kurang friendly terhadap ekosistem, di satu sisi dengan pendekatan pemerataan dan desentralistik yang friendly terhadap ekosistem di sisi lain.
(4)               Sosio-budaya pembentuk modal sosial dan civil society yang berbasiskan asas colllective trust, law enforcement, cooperation dan net-working. Pengelolaan ekosistem merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat yang mengandalkan kekuatan modal sosial dan civil society setempat dan nasional.
(5)               Pertahanan dan keamanan sangat interaktif dengan ekosistem dan masyarakat setempat.

GLOBALISASI

            Makna globalisasi sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Paling tidak sejak abad 7 masyarakat Indonesia telah memasuki arena global di bidang pendidikan (Kerajaan Sriwijaya telah memiliki Perguruan Tinggi, beraliansi dengan India), kebudayaan (dapat dilihat dari peninggalan candi, prasasti di banyak tempat, catatan-catatan tertulis seperti lontara di Sulawesi Selatan), jaringan ”persekemakmuran masyarakat Melayu” (di daerah segitiga Riau, Sumatera dan Kalimantan bagian barat), dan jaringan ekonomi (poros Sunda Kelapa/Jayakarta, Tuban/Gresik, Melaka dan Gowa). Kemerdekaan bangsa Indonesia (1945) merupakan hasil dari berpikir secara global para founding fathers, karena globalisasi harus dilatar-belakangi aktor-aktor (negara) yang memiliki kebebasan atau independensi dari dominasi negara lain. Selama independensi tidak diakui dan diwujubkan maka penggunaan istilah globalisasi dapat diselewengkan sebagai pemerasaan antar masyarakat bangsa yang berbeda tingkat kemajuan peradabannya.
Globalisasi yang terkait dengan pembangunan pertanian salah satunya harus diarahkan pada kebebasan suatu negara untuk berusahan mandiri dalam penyediaan  bahan pangan. Semangat anti-globalisasi antara lain ditandai ketika tidak ada kebebasan suatu masyarakat negara dalam menjalankan kebijakannya untuk menghasilkan bahan pangannya secara mandiri. Secara historis komoditi beras merupakan mata dagang yang secara efektif dapat mensinergikan hubungan sosial, ekonomi, politik dan budaya antar masyarakat berbagai darah dalam gugus negara kesatuan republik Indonesia. Walaupun sebagian besar fakta historis membenarkan bahwa terjadinya integrasi yang harmonis antara masyarakat dan ekosistemnya melalui penyediaan energi pangan, namun ketika pangan di-liberal-kan menjadi komoditi pasar bebas maka energi pangan jugamenjadi titik masuk terjadinya disintegrasi antara masyarakat dan ekosistemnya.
Pergeseran makna globalisasi terjadi setelah penetrasi ekonomi kapitalis Barat memasuki atmosfer perekonomian nasional melalui darat, laut dan udara. Istilah globalisasi yang baru dan relatif populer lebih diarahkan untuk pembukaan pasar negara dunia ketiga terhadap produk-produk negara kapitalis besar (Barat). Pengaliran atribut budaya baru (westernisasi), penguasaan ekonomi berdasar kapital uang, pilihan iptek tertentu (dulu tidak boleh mengembangan gandum dan kedelai), (ilmuwan sebagai komprador atau agen penjual produk industri negara besar, yaitu berperan sebagai pembentuk opini dan imajinasi baru tentang kemajuan model Barat), campur tangan terhadap pergolakan di kalangan elit politik di Jakarta, pilihan pejabat negara, dan kebijakan pembangunan menjadi sistem menyeluruh penggeseran makna globalisasi (sejalan dengan makna ”Economic Hitman”- John Perkins).
Ada dua pemaknaan terhadap istilah globalisasi yang harus dicermati, yaitu: globalisasi ekonomi, dan gerakan global untuk mewujudkan kehidupan dunia yang ideal. Pemaknaan yang pertama dalam praktek lebih menonjol dibandingkan dengan yang kedua, seperti yang dijelaskan pada alinea sebelumnya. Globalisasi yang mengikuti makna pertama menimbulkan implikasi yang sangat serius di bidang pemiskinan manusia dan ekosistem. Melalui masyarakat yang secara budaya telah terinfeksi nilai-nilai konsumerismu dan hedonik (kata ganti keserakahan) sumberdaya alam dikuras (dan dirusak) untuk membayar produk dan jasa yang dihasilkan masyarakat di negara-negara penganut paham neo-liberal dan neo-kapitalis. Ekosistem pertanian nerubah ke arah penghancuran karena merasuknya nilai-nilai neo-liberalisme dan neo-kapitalime dalam kehidupan masyarakat lokal dan pedesaan.
Globalisasi ekonomi yang berlangsung saat ini sebagian besar digerakkan mesin politik di negara-negara neo-liberalisme dan neo-kapitalis yang telah mendunia (”global”). Ekonomi yang digerakkan semangat neo-liberalisme sangat rakus terhadap sumberdaya alam (ekosistem) dan eksploitasi antar masyarakat secara lintas teritorial batas negara dan budaya. Globalisasi merupakan arena perang baru, menggantikan arena perang dingin, untuk mengukuhkan negara-negara besar dalam menguasai negara-negara kecil yang padat penduduk (konsumen produk negara besar) dan yang kaya sumberdaya alam (terutama hasil tambang; minyak dan mineral berharga). Semangat globalisasi ekonomi ini sangat tidak kompatibel untuk membangun pertanian Indonesia dengan perspektif ”penyehatan dan penguatan ekosistem”.


KESIMPULAN

(1)               Setelah tumbangnya Orde Lama belum ada kebijakan pembangunan pertanian yang menempatkan pengelolaan ekosistem sebagai suatu yang bernilai strategis semakin tidak tampak. Kerusakan ekosistem pada awal Orde Baru belum terasa berat, hal ini disebabkan masuknya budaya luar yang beirisi nilai keserakahan belum merasuki kehidupan masyarakat pedesaan secara intensif.
(2)               Memasuki dekade pertengahan 1970-an nilai-nilai neo-liberal semakin intensif terserap dalam rancangan, strategi, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang ”gila pertumbuhan” (growth maniac). Pendekatan pembangunan yang gila pertumbuhan ini diarahkan pada pengurasan (over-exploitation) terhadap sumberdaya alam.
(3)               Kerusakan ekosistem hutan, lahan pertanian, dan sumber2 air di pegunungan adalah kelanjutan dari pendekatan ”gila pertumbuhan” tersebut. Ekosistem dan sumberdaya alam digerogoti secara progresif oleh nilai-nilai keserakahan ekonomi industri-kota dan kegiatan bubble ekonomics lainnya.
(4)               Antisipasi kerusakan ekosistem pertanian belum dirancang dan dijalankan sebagai bagian dari peringatan dini terhadap gejala ”pemusnahan strategis” terhadap kekayaan ekosistem dan sumberdaya alam, dan hal ini selakigus sebagai penghancuran terhadap sumber-sumber kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia di masa datang.
(5)               Dibandingkan dekade 1990-an ke atas, ekosistem pertanian sebelum 1980-an relatif terjaga berkat kebijakan swa-sembada pangan, sentralisme ekonomi, dan keholistikan pembangunan pertanian di sektor pangan (khususnya produksi beras). Kebijakan sentralisme dan penguasaan secara menyeluruh, dimulai dari sektor hilir (pra produksi; mencakup pembangunan waduk dan pengamanan green belt di sekitar waduk), sektor tengah (sistem usahatani secara regional), hingga distribusi dan pemasarannya (Kelompok Tani, KUD hingga BULOG) secara sistemik memasukkan faktor pengelolaan ekosistem hulu DAS sebagai bagian kritis dari keberhasilan swa-sembada pangan.
(6)               Sejak dipisahkannya sektor kehutanan, menjadi Departemen Kehutanan, (sebagai sektor hulu pertaniaan semusim, khususnya tanaman pangan) dan sektor hilir dari sektor tengah (Departemen Pertanian), maka sektor pertanian mengalami pelumpuhan yang sangat berat dalam penguasaannya terhadap ekosistem dan pembagian berkah ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan.
(7)               Interaksi antara keterbelakangan masyarakat pedesaan di satu sisi dan lemahnya civil society masyarakat bawah terhadap pengelolaan ekosistem sangat kuat. Gejala interaktif ini muncul di permukaan bukan akibat dari kesalahan implementasi pembangunan pertanian di  lapangan, melainkan juga sebagai akibat kesalahan kebijakan yang dirumuskan dan dikendalikan dari pusat.

DAFTAR PUSTAKA

Bali Declaration on Population and Sustainable Development. Fourth Asian and Pasific Population Conference, 19-27 Augst 1992, Bali, Indonesia. United Nation. http://www.unescp.org/esid/psis/population/ 5appc/doc/bali.pdf. [23 Juli 2004]

Indigenous Peoples and Sustainable Development. IDB Forum of the Americas, April 8th, 1997. Washington, D.C.

Annonimous. 2002. Population and Sustainable Development. POPNET (Population Network Newsletter), Spring (34):1-3, 2002.
Altieri, M.A., P.M. Rosset and C.I. Nicholls. 1997. Biological control and agricultural modernization: Toward resolution of some contradictions. Agriculture and Human Values, (14):303-310, 1997. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. http;//agroeco.org/doc/biocontradictions1.pdf. [03/09/2004].

Boserup, E. 1981. Population and Technological Change. The University of Chicago Press. Chicago.

Brown, L. 1986. Kembali di Simpang Jalan: Masalah Kependudukan dengan Sumberdaya Alam. C.V. Rajawali. Jakarta.

de Graaf, H.J dan Th. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. P.T. Pustaka Utama Grafiti, cetakan IV (edisi revisi). Jakarta.

Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Suatu Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara Aksara. Jakarta.

Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. (Penerjemah I.P. Soewarsha dan Penyunting M.H. Mustopo). Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.

Hohnholz, J.H. 1986. Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Pinstrup-Andersen, P. and R. Pandya-Lorch. 2001. The Unfinished Agenda: Perspectives on Overcoming Hunger, Poverty, and Environmental Degradation. International Food Policy Research Institute. Washington D.C.

Prakash, S. 1997. Poverty and Environment Linkages in Mountain and Uplands: Reflection on the “Poverty Trap’ Thesis. CREED Working Paper No 12, February 1997. Collaboration Research in the Economics of Environment and Development, IIED. London. http://www.iied.org.docs/eep/creed12e.pdf. [19/03/2004].

Rambo, A.T. 1982. Human Ecology Research on Tropical Agro-ecosystems in South Asia. East-West Environment and Policy Institute. Honolulu.

Kuhn, T.S. 1967. The Structure of Scientific Revolutions. Phoenix Books, The University of Chicago Press. Chicago.

Malthus, T.R. 1976. An Essay on The Principle of Population and A Summary View of The Principle of Population (Edited by A. Flew). Penguin Books. Middlesex.

Lombart, D. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Reid, A. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.

Ricklefs, R.E. 1979. Ecology. Chiron Press Incorporated. New York.

Thijsse, J.P. 1982. Apakah Jawa Akan Menjadi Padang Pasir?. dalam Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai (Penyunting: Sajogyo). Penerbit C.V. Rajawali. Jakarta.

Ward, B dan R Dubos. 1980. Hanya Satu Bumi: Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planet Kecil. Diterbitkan untuk Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran dan Yayasan Obor. Penerbit P.T. Gramedia. Jakarta

*********





Tidak ada komentar:

Posting Komentar