Visi,
Innovasi, dan komunikasi:
DARI
“TUJUH MUSIM KERING” HINGGA SOAL HIDUP ATAU MATI
Membangun
Sistem Kedaulatan Pangan Untuk Kelangsungsan Bangsa Dan Negara
Pengkritisan
Terhadap Draf Ruu Pangan
Dr. Ir.
Tri Pranadji, MSi, APU
Sekretaris Jenderal Ikatan Sosiologi Indonesia (2005-2010)
dan Ahli Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Kementerian Pertanian,
Bogor.
(Makalah
disampaikan dalam “Rapat Dengar Pendapat Umum” (RDPU) untuk memberikan masukan
mengenai RUU tentang Pangan khususnya BAB IV tentang Ketersediaan Pangan; Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Rabu, 15 Februari 2012. Gedung
Nusantara DPR-RI)
PENGANTAR
AKHIR 1990-AN, Prof burhanuddin jusuf habbibie
menyatakan bahwaTerkait dengan masalah pangan, penyelenggaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) harus menganut visi bahwa “kedaulatan suatu negara
adalah kedaulatan di bidang pangan”. Sebagai penjelasan dapat dikemukakan
hal-hal berikut:
(1)
Pangan adalah bagian dari esensi (“energy”) kehidupan; tanpa pangan tidak
akan ada kehidupan. Siklus pangan adalah bagian dari inti siklus kehidupan.
(2)
Siapa saja (orang seorang atau sekumpulan orang)
atau negara mana saja yang tidak mampu mengendalikkan siklus pangan, maka
mereka (seakan-akan) tidak berhak memperoleh kehidupan.
(3)
Siapa saja atau negara mana saja yang ingin
menguasai dirinya sendiri, hal pertama yang harus dilakukan adalah menguasai
urusan pangannya.
(4)
Siapa saja atau negara mana saja yang tidak
menghendaki dikuasai pihak lain, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah
menguasai pangan.
(5)
Siapa saja atau negara mana saja yang mampu
menguasai “politik pangan” bukan saja akan mampu menegakkan kedaulatannya, melainkan
akan mampu mengatur urusan negara lain.
Masalah pangan bukan sekedar bagaimana
menghasilkannya, melainkan juga (lebih dari itu) adalah bagaimana memberikan
jaminan atau kepastian bahwa setiap orang dapat memperolehnya (di saat dibutuhkan)
untuk kelangsungan hidupnya. Dapat menghasilkan, pangan namun tidak dapat
menjamin setiap orang dapat memperolehnya dapat diibaratkan sebagai “tikus
mati” di lumbung beras. Jika negara tidak mampu menjamin setiap orang atau
warganya memperoleh pangan dapat dikatakan sebagai “negara gagal”. (Apalagi
dalam keadaan sumberdaya suatu negara memungkinkan untuk menghasilkan pangan
secara mandiri).
Dalam tulisan pendek ini akan dikemukakan dua
gagasan besar yang terkait dengan bagaimana suatu negara harus mampu menegakkan
kedaulatan pangannya, yaitu: (1) Bagaimana suatu negara harus mempertaruhkan seluruh
“energi politik”-nya untuk mengatasi ancaman “tujuh musim kering” (pada sejarah
Bangsa Mesir jaman Nabi Yusuf bin Yaqub AS), dan (2) kebijakan politik dalam membangun
kedaulatan pangan NKRI adalah
“Soal Hidup atau Mati” (Pidato Bung Karno pada Peletakan Batu Pertama Gedung Fakultet Pertanian di Bogor, 27 April 1952).
“Soal Hidup atau Mati” (Pidato Bung Karno pada Peletakan Batu Pertama Gedung Fakultet Pertanian di Bogor, 27 April 1952).
NEO-LIBERALISASI
PANGAN
Sudah
dalam 2-3 dekade ini Indonesia tidak pernah bebas dari impor bahan pangan, khususnya
beras, jagung, kedele, dan terigu. Dalam sejarah perdagangan dunia, terutama
sebelum abad 17, wilayah Nusantara merupakan eksportir produk pangan dan
pertanian, khususnya bagi wilayah Asia timur. Masuknya liberalisasi pertanian
dan produk pangan, setelah masuknya peradaban Eropa ke Asia (melalui
penjajahan) telah mengubah peta politik perdagangan pangan di wilayah
Nusantara. Boleh saja dikatakan bahwa wilayah Nusantara sebagai penghasil
produk pertanian dan pangan yang relatif besar, namun yang menikmati produk
tersebut adalah bangsa “penjajah”. Masyarakat petani hanya sebagai “buruh
kerja”, sedangkan yang menikmati hasilnya adalah “penguasa ekonomi” yang
menjalankannya dengan pola ekonomi liberal dan ekonomi dualistik.
Liberalisasi ekonomi merupakan ancaman bagi
kedaulatan pangan. Mengacu pada perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan, dapat dikemukakan
bahwa membangun kedaulatan pangan bagi NKRI harus merupakan “harga mati”. Pembahasan
Rancangan Undang-undang tentang Pangan (UU Pangan) harus diarahkan pada
bagaimana membangun “kedaulatan pangan” karena kedaulatan pangan ini dapat
dikatakan sebagai “anak kandung dari kedaulatan negara”. Makna “kedaulatan
pangan” tidak boleh direduksi menjadi (misalnya) “ketahanan pangan”. Sejalan
dengan amanat konstitusi (Pembukaan UUD 1945) mereduksi makna kedaulatan pangan
sama halnya mereduksi (atau pengingkaran terhadap) “kedaulatan negara”.
Salah satu instrumen negara asing yang paling
efektif untuk mengatur urusan kedaulatan negara adalah melalui ekonimi pasar dan
uang. Untuk mereduksi “kedaulatan pangan” adalah dengan memasukkan “liberalisasi”
pangan. Memasukkan tatanan ekonomi liberal, yang menekankan urusan (ekonomi)
uang sebagai instrumen utama atau di atas segala-galanya, merupakan ancaman
besar bagi kedaulatan pangan. Istilah yang lebih ekstrim dari menyusupkan
instrumen ekonomi uang dan ekonomi pasar dalam kedaulatan negara adalah
neo-liberalisasi pangan. Muatan pengaturan dalam Rancangan UU Pangan harus
sejauh mungkin melepaskan diri dari “jebakan neo-liberalisasi pangan”.
Kebijakan politik (negara) dalam pembangunan
kedaulatan pangan sejauh mungkin tidak menggunakan pendekatan ekonomi pasar.
Mekanisme penganggaran negara sejauh mungkin tidak dengan memasukkan faktor
“harga pangan” di pasar dunia sebagai instrumen pengaturan urusan pembangunan
kedaulatan pangan. Menggunakan harga pangan di pasar dunia sebagai instrumen
kebijakan dalam membangun kedaulatan pangan mengadung resiko sangat besar.
Negara-negara Afrika banyak mengalami bahaya kelaparan dan perang saudara
karena terlalu mengandalkan “harga pangan dunia” sebagai pengelolaan urusan
pangan negara. Negara seperti Jepang dan Singapura sangat konservatif dalam membangun
kedaulatan pangannya; sama sekali tidak memasukkan “harga pangan” dalam
pengaturan kebijakan pemenuhan pangan bangsa dan negaranya.
Mengatur urusan kedaulatan pangan sebaiknya jangan
dicampur-adukkan dengan pengaturan dalam kebijakan fiskal dan moneter. Dalam
2-3 dekade (>1990-an) kebijakan pangan Indonesia terseret dalam arus
kebijakan yang dikendalikan oleh “agenda asing” (misalnya: Bank Dunia, IMF, dan
USAID). Sehatnya sistem moneter dan fiskal tidak berkorelasi langsung dengan
membaiknya “kedaulatan pangan” di Indonesia. Masih meluasnya gejala kemiskinan
dan rendahnya daya beli masyarakat menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan
pangan. Gejala “sehatnya” sistem moneter yang tidak disertai dengan penguatan
sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar
merupakan gejala rapuhnya daya beli pangan bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia.
PERISTIWA
“TUJUH MUSIM KERING”
Sebagai
gambaran betapa pentingnya membangun kedaulatan pangan dapat dikemukakan
“Cerita tentang Penafsiran Nabi Yusuf AS terhadap Mimpi Raja Mesir”. Dalam
mimpi Raja Mesir terkandung makna bahwa Negara (Mesir) akan dilanda 7 (tujuh)
musim panen melimpah, dan kemudian akan diikuti dengan 7 (tujuh) musim paceklik
secara berturut-turut. Tanpa mempunyai kemampuan mengelola kedaulatan pangan,
khususnya dari ancaman musim kering berkepanjangan, bukan saja peradaban bangsa
Mesir akan terancam runtuh; melainkan juga (yang lebih mengerikan) adalah
punahnya bangsa Mesir. Demi visi untuk kelangsungan peradaban Bangsa Mesir, Raja
Mesir sendiri pada akhirnya merelakan dan menyerahkan “energi otoritas
politik”-nya kepada kepemimpinan Nabi Yusuf ASuntuk mengelola kedaulatan pangan
Negara Mesir.
Atas
dasar kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman kehancuran peradaban dan kepunahan
masyarakat, terbangun dialog kreatif antara “Sang Penguasa” (Raja Mesir) dan
“ilmuwan” (Nabi Yusuf AS), yang keduanya (“setali tiga uang”) sangat mempunyai kepedulian
kemanusiaan dan integritas tinggi terhadap kelangsungan kehidupan bangsa atau
masyarakat (Mesir). Visi bersama terbangun, yaitu bahwa untuk mempertahankan
peradaban dan kelangsungan bangsa Mesir dalam membangun kedaulatan pangan
adalah di atas segalanya. Semua instrumen kelembagaan dan ekonomi negara yang
terkait dengan insentif dan investasi untuk membangun sistem kedaulatan pangan dikerahkan
secara masif; termasuk membangun infrastruktur (untuk mendukung penyediaan
pangan secara berkelanjutan), sumber daya manusia (aparat birokrasi dan
operator usaha sektor riil di lapangan), kelembagaan, birokrasi yang
profesional, sistem hukum, dan kepemimpinan dalam pengelolaan kedaulatan pangan.
Beberapa
hal penting yang ditekankan dalam membangun politik kedaulatan pangan, antara
lain: (1) pengelolaan sumber daya negara (terutama sumber daya agraria) harus
terarah pada pembangunan sistem kedaulatan pangan; (2) sistem pengelolaan kedaulatan
pangan harus terukur, transparan dan akuntabel; (3) sistem pengelolaan
kedaulatan pangan harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan, penegakkan hukum secara
adil (serta berpihak pada kepentingan orang banyak), dan menjamin setiap orang
mendapatkan pangan; (4) penyediaan pangan yang terjamin dari produksi domestik;
dan (5) adanya sistem (mekanisme) konversi yang sempurna dari penyediaan pangan
ke aksesibilitas pangan bagi seluruh lapisan masyarakat (dengan
mempertimbangkan perbedaan kemampuan daya beli).
Dalam rangka membangun sistem penyediaan pangan,
prioritas sumber daya kedaulatan negara (ekologi dan sumber daya alam, prasarana,
energy, finansial, sumber daya
manusia, sistem birokrasi pemerintahan, elemen kelembagaan kemasyarakatan dan civil society, sistem politik dan hukum)
difokuskan untuk membangun good
governance dalam kedaulatan pangan negara. Budaya askriptif yang tidak sejalan dengan good governance; seperti: korupsi,
kolusi dan nepotisme; harus dibersihkan dan dijauhkan (sejauh-jauhnya) dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, agar penggunaan “energy
negara” dapat fokus pada pembangunan kedaulatan pangan yang bersifat jangka
panjang, menyeluruh, adil dan berkelanjutan.
PANGAN:
SOAL HIDUP ATAU MATI
Potensi
(alam, manusia, biodiversitas, dan modal sosial) di wilayah NKRI ini relatif
sangat memadai untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Dalam mewujudkan “kedaulatan
pangan” tidak mungkin mengandalkan proses alamiah (akan begitu saja “turun dari
langit”) dan belas kasihan dari bangsa lain. Gejala kurang pangan, karena
“salah urus” dalam pengelolaan sumber daya kedaulatan negara telah disadari
oleh para founding fathers, terutama
Bung Karno. Oleh sebab itu, dalam Pidato Peletakan batu Pertama Fakultet
Pertanian di Bogor (27 April 1952), Bung Karno menulis sendiri pidatonya
berjudul: “Soal Hidup atau Mati”. Uraian lebih menyeluruh dan rinci tentang
“Pangan: Soal Hidup atau Mati” dapat diikuti dari Pidato Bung Karno.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar