Rabu, 12 Februari 2014

Membangun Sistem Kedaulatan Pangan


Visi, Innovasi, dan komunikasi:

DARI “TUJUH MUSIM KERING” HINGGA SOAL HIDUP ATAU MATI

Membangun Sistem Kedaulatan Pangan Untuk Kelangsungsan Bangsa Dan Negara

Pengkritisan Terhadap Draf Ruu Pangan

 Oleh:
Dr. Ir. Tri Pranadji, MSi, APU

 

Sekretaris Jenderal Ikatan Sosiologi Indonesia (2005-2010) dan Ahli Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Kementerian Pertanian, Bogor.

(Makalah disampaikan dalam “Rapat Dengar Pendapat Umum” (RDPU) untuk memberikan masukan mengenai RUU tentang Pangan khususnya BAB IV tentang Ketersediaan Pangan; Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Rabu, 15 Februari 2012. Gedung Nusantara DPR-RI)

 

PENGANTAR

           AKHIR 1990-AN, Prof burhanuddin jusuf habbibie menyatakan bahwaTerkait dengan masalah pangan, penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menganut visi bahwa “kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan di bidang pangan”. Sebagai penjelasan dapat dikemukakan hal-hal berikut:

(1)        Pangan adalah bagian dari esensi (“energy”) kehidupan; tanpa pangan tidak akan ada kehidupan. Siklus pangan adalah bagian dari inti siklus kehidupan.

(2)        Siapa saja (orang seorang atau sekumpulan orang) atau negara mana saja yang tidak mampu mengendalikkan siklus pangan, maka mereka (seakan-akan) tidak berhak memperoleh kehidupan.

(3)        Siapa saja atau negara mana saja yang ingin menguasai dirinya sendiri, hal pertama yang harus dilakukan adalah menguasai urusan pangannya.

(4)        Siapa saja atau negara mana saja yang tidak menghendaki dikuasai pihak lain, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menguasai pangan.

(5)        Siapa saja atau negara mana saja yang mampu menguasai “politik pangan” bukan saja akan mampu menegakkan kedaulatannya, melainkan akan mampu mengatur urusan negara lain.

Masalah pangan bukan sekedar bagaimana menghasilkannya, melainkan juga (lebih dari itu) adalah bagaimana memberikan jaminan atau kepastian bahwa setiap orang dapat memperolehnya (di saat dibutuhkan) untuk kelangsungan hidupnya. Dapat menghasilkan, pangan namun tidak dapat menjamin setiap orang dapat memperolehnya dapat diibaratkan sebagai “tikus mati” di lumbung beras. Jika negara tidak mampu menjamin setiap orang atau warganya memperoleh pangan dapat dikatakan sebagai “negara gagal”. (Apalagi dalam keadaan sumberdaya suatu negara memungkinkan untuk menghasilkan pangan secara mandiri).

Dalam tulisan pendek ini akan dikemukakan dua gagasan besar yang terkait dengan bagaimana suatu negara harus mampu menegakkan kedaulatan pangannya, yaitu: (1) Bagaimana suatu negara harus mempertaruhkan seluruh “energi politik”-nya untuk mengatasi ancaman “tujuh musim kering” (pada sejarah Bangsa Mesir jaman Nabi Yusuf bin Yaqub AS), dan (2) kebijakan politik dalam membangun kedaulatan pangan NKRI adalah
“Soal Hidup atau Mati” (Pidato Bung Karno pada Peletakan Batu Pertama Gedung Fakultet Pertanian di Bogor, 27 April 1952).

 
NEO-LIBERALISASI PANGAN

          Sudah dalam 2-3 dekade ini Indonesia tidak pernah bebas dari impor bahan pangan, khususnya beras, jagung, kedele, dan terigu. Dalam sejarah perdagangan dunia, terutama sebelum abad 17, wilayah Nusantara merupakan eksportir produk pangan dan pertanian, khususnya bagi wilayah Asia timur. Masuknya liberalisasi pertanian dan produk pangan, setelah masuknya peradaban Eropa ke Asia (melalui penjajahan) telah mengubah peta politik perdagangan pangan di wilayah Nusantara. Boleh saja dikatakan bahwa wilayah Nusantara sebagai penghasil produk pertanian dan pangan yang relatif besar, namun yang menikmati produk tersebut adalah bangsa “penjajah”. Masyarakat petani hanya sebagai “buruh kerja”, sedangkan yang menikmati hasilnya adalah “penguasa ekonomi” yang menjalankannya dengan pola ekonomi liberal dan ekonomi dualistik.

Liberalisasi ekonomi merupakan ancaman bagi kedaulatan pangan. Mengacu pada perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan, dapat dikemukakan bahwa membangun kedaulatan pangan bagi NKRI harus merupakan “harga mati”. Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pangan (UU Pangan) harus diarahkan pada bagaimana membangun “kedaulatan pangan” karena kedaulatan pangan ini dapat dikatakan sebagai “anak kandung dari kedaulatan negara”. Makna “kedaulatan pangan” tidak boleh direduksi menjadi (misalnya) “ketahanan pangan”. Sejalan dengan amanat konstitusi (Pembukaan UUD 1945) mereduksi makna kedaulatan pangan sama halnya mereduksi (atau pengingkaran terhadap) “kedaulatan negara”.

Salah satu instrumen negara asing yang paling efektif untuk mengatur urusan kedaulatan negara adalah melalui ekonimi pasar dan uang. Untuk mereduksi “kedaulatan pangan” adalah dengan memasukkan “liberalisasi” pangan. Memasukkan tatanan ekonomi liberal, yang menekankan urusan (ekonomi) uang sebagai instrumen utama atau di atas segala-galanya, merupakan ancaman besar bagi kedaulatan pangan. Istilah yang lebih ekstrim dari menyusupkan instrumen ekonomi uang dan ekonomi pasar dalam kedaulatan negara adalah neo-liberalisasi pangan. Muatan pengaturan dalam Rancangan UU Pangan harus sejauh mungkin melepaskan diri dari “jebakan neo-liberalisasi pangan”.

Kebijakan politik (negara) dalam pembangunan kedaulatan pangan sejauh mungkin tidak menggunakan pendekatan ekonomi pasar. Mekanisme penganggaran negara sejauh mungkin tidak dengan memasukkan faktor “harga pangan” di pasar dunia sebagai instrumen pengaturan urusan pembangunan kedaulatan pangan. Menggunakan harga pangan di pasar dunia sebagai instrumen kebijakan dalam membangun kedaulatan pangan mengadung resiko sangat besar. Negara-negara Afrika banyak mengalami bahaya kelaparan dan perang saudara karena terlalu mengandalkan “harga pangan dunia” sebagai pengelolaan urusan pangan negara. Negara seperti Jepang dan Singapura sangat konservatif dalam membangun kedaulatan pangannya; sama sekali tidak memasukkan “harga pangan” dalam pengaturan kebijakan pemenuhan pangan bangsa dan negaranya.

Mengatur urusan kedaulatan pangan sebaiknya jangan dicampur-adukkan dengan pengaturan dalam kebijakan fiskal dan moneter. Dalam 2-3 dekade (>1990-an) kebijakan pangan Indonesia terseret dalam arus kebijakan yang dikendalikan oleh “agenda asing” (misalnya: Bank Dunia, IMF, dan USAID). Sehatnya sistem moneter dan fiskal tidak berkorelasi langsung dengan membaiknya “kedaulatan pangan” di Indonesia. Masih meluasnya gejala kemiskinan dan rendahnya daya beli masyarakat menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan pangan. Gejala “sehatnya” sistem moneter yang tidak disertai dengan penguatan sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar merupakan gejala rapuhnya daya beli pangan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
 

PERISTIWA “TUJUH MUSIM KERING”

          Sebagai gambaran betapa pentingnya membangun kedaulatan pangan dapat dikemukakan “Cerita tentang Penafsiran Nabi Yusuf AS terhadap Mimpi Raja Mesir”. Dalam mimpi Raja Mesir terkandung makna bahwa Negara (Mesir) akan dilanda 7 (tujuh) musim panen melimpah, dan kemudian akan diikuti dengan 7 (tujuh) musim paceklik secara berturut-turut. Tanpa mempunyai kemampuan mengelola kedaulatan pangan, khususnya dari ancaman musim kering berkepanjangan, bukan saja peradaban bangsa Mesir akan terancam runtuh; melainkan juga (yang lebih mengerikan) adalah punahnya bangsa Mesir. Demi visi untuk kelangsungan peradaban Bangsa Mesir, Raja Mesir sendiri pada akhirnya merelakan dan menyerahkan “energi otoritas politik”-nya kepada kepemimpinan Nabi Yusuf ASuntuk mengelola kedaulatan pangan Negara Mesir.

          Atas dasar kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman kehancuran peradaban dan kepunahan masyarakat, terbangun dialog kreatif antara “Sang Penguasa” (Raja Mesir) dan “ilmuwan” (Nabi Yusuf AS), yang keduanya (“setali tiga uang”) sangat mempunyai kepedulian kemanusiaan dan integritas tinggi terhadap kelangsungan kehidupan bangsa atau masyarakat (Mesir). Visi bersama terbangun, yaitu bahwa untuk mempertahankan peradaban dan kelangsungan bangsa Mesir dalam membangun kedaulatan pangan adalah di atas segalanya. Semua instrumen kelembagaan dan ekonomi negara yang terkait dengan insentif dan investasi untuk membangun sistem kedaulatan pangan dikerahkan secara masif; termasuk membangun infrastruktur (untuk mendukung penyediaan pangan secara berkelanjutan), sumber daya manusia (aparat birokrasi dan operator usaha sektor riil di lapangan), kelembagaan, birokrasi yang profesional, sistem hukum, dan kepemimpinan dalam pengelolaan kedaulatan pangan.

          Beberapa hal penting yang ditekankan dalam membangun politik kedaulatan pangan, antara lain: (1) pengelolaan sumber daya negara (terutama sumber daya agraria) harus terarah pada pembangunan sistem kedaulatan pangan; (2) sistem pengelolaan kedaulatan pangan harus terukur, transparan dan akuntabel; (3) sistem pengelolaan kedaulatan pangan harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan, penegakkan hukum secara adil (serta berpihak pada kepentingan orang banyak), dan menjamin setiap orang mendapatkan pangan; (4) penyediaan pangan yang terjamin dari produksi domestik; dan (5) adanya sistem (mekanisme) konversi yang sempurna dari penyediaan pangan ke aksesibilitas pangan bagi seluruh lapisan masyarakat (dengan mempertimbangkan perbedaan kemampuan daya beli).

Dalam rangka membangun sistem penyediaan pangan, prioritas sumber daya kedaulatan negara (ekologi dan sumber daya alam, prasarana, energy, finansial, sumber daya manusia, sistem birokrasi pemerintahan, elemen kelembagaan kemasyarakatan dan civil society, sistem politik dan hukum) difokuskan untuk membangun good governance dalam kedaulatan pangan negara.  Budaya askriptif yang tidak sejalan dengan good governance; seperti: korupsi, kolusi dan nepotisme; harus dibersihkan dan dijauhkan (sejauh-jauhnya) dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, agar penggunaan “energy negara” dapat fokus pada pembangunan kedaulatan pangan yang bersifat jangka panjang, menyeluruh, adil dan berkelanjutan.
 

PANGAN: SOAL HIDUP ATAU MATI

          Potensi (alam, manusia, biodiversitas, dan modal sosial) di wilayah NKRI ini relatif sangat memadai untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Dalam mewujudkan “kedaulatan pangan” tidak mungkin mengandalkan proses alamiah (akan begitu saja “turun dari langit”) dan belas kasihan dari bangsa lain. Gejala kurang pangan, karena “salah urus” dalam pengelolaan sumber daya kedaulatan negara telah disadari oleh para founding fathers, terutama Bung Karno. Oleh sebab itu, dalam Pidato Peletakan batu Pertama Fakultet Pertanian di Bogor (27 April 1952), Bung Karno menulis sendiri pidatonya berjudul: “Soal Hidup atau Mati”. Uraian lebih menyeluruh dan rinci tentang “Pangan: Soal Hidup atau Mati” dapat diikuti dari Pidato Bung Karno.

 

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar