Rabu, 12 Februari 2014

SDM Pertanian


 
SDM Pertanian yang Kompeten dan Profesional
 

Oleh: Dr. Ir. Tri Pranadji, MSi, APU
 

Disampaikan dalam Workshop Road Map Reposisi STPP
 Kamis-Sabtu, 18-20 Oktober 2012, di Hotel Banana Inn,
Jalan Setiabudi No. 191 Bandung

 

Tinjauan Bukan Sekedar untuk Kepentingan Sektoral

Secara konstitusional, penyuluhan pertanian seharusnya dilihat dalam bingkai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekedar untuk tujuan transfer teknologi (usahatani) dari “lembaga penelitian atau pengkajian” ke usahatani tradisional di pedesaan yang digerakkan dalam perspektif pembangunan sektoral (pertanian)

 

PENDAHULUAN

 

         Sumberdaya manusia (SDM) di sektor pertanian secara kuantitas relatif besar, namun secara kualitas (kompetensi dan profesionalitas) relatif tertinggal dibandingkan dengan sektor lain. Jika saja kualitas SDM di sektor pertanian pedesaan dapat ditingkatkan secara signifikan, secara individual dan kolektif, sangat mungkin sektor pertanian, yang saat ini masih mencerminkan keterbelakangan, di masa datang dapat diubah menjadi poros kemajuan masyarakat pedesaan. Hal ini hanya dapat dimengerti jika dan hanya jika kemampuan penyuluh pertanian dapat ditingkatkan secara signifikan.

         Kurang berkembangnya SDM di sektor pertanian dapat dilacak dari kualitas SDM jajaran aparat Pemerintah dan pemerintah daerah yang menangani sektor pertanian, khususnya penyuluh pertanian. Peluang untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas penyuluh pertanian sangatlah terbuka, terutama dengan adanya dukungan lembaga pendidikan kedinasan di lingkup Kementerian Pertanian, yaitu Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP). Hal yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana kesiapan STTP dalam menyelenggarakan sistem pendidikan atau latihan dalam rangka meningkatkan kompetensi dan profesionalitas penyuluh pertanian.

Dari segi dukungan peraturan perundang-undangan, penguatan STTP untuk membantu peningkatan kompetensi dan profesionalitas penyuluh pertanian sangat terbuka. Dengan diberlakukannya UU No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi,  lembaga pendidikan kedinasan, termasuk STTP, dapat ikut serta menyelenggarakan pendidikan profesi. Hal ini mengindikasikan bahwa STTP memiliki peluang menyelenggarakan pendidikan profesi. Masalah berikutnya adalah bagaimana memperkuat peran STTP dalam merespon tuntutan kebutuhan untuk kemajuan pertanian, termasuk dalam mendukung jabatan fungsional RIHP (Rumpun Ilmu Hayati Pertanian).

Hal lain yang perlu dicermati secara serius adalah bahwa peningkatan kompetensi dan profesionalitas SDM pertanian seharusnya terkait dengan gambaran visi pertanian ke depan. Jika gambaran pertanian masih mengikuti tradisi atau kecenderungan seperti saat ini, yaitu sektor pertanian dibatasi hanya bidang usahatani dan pertanian tradisional berlahan sempit, sangat mungkin penerjemahan makna kompetensi dan profesionalitas SDM pertanian akan sangat sempit. Pada gilirannya hal ini akan mempersempit ruang gerak dari STTP dalam menyelenggarakan pendidikan profesi maupun pendidikan vokasional.

Pertanian Indonesia ke depan seharusnya mengikuti dua elemen esensial, yaitu: pertanian profesional dan konstitusional. Pengembangan SDM pertanian, sebagai konsekuensinya, harus mengikuti kebutuhan untuk mewujudkan sistem pertanian ke depan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada 2 (dua) golongan SDM pertanian yang perlu dijadikan fokus garapan, yaitu: SDM operator pertanian dan SDM (yang bekerja dalam di STPP yang berperan sebagai) penghasil operator pertanian. SDM penghasil operator pertanian dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu: penyuluh dan aparat kedinasan lain yang bekerja di bidang pertanian. Penyusunan Road Map Reposisi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian perlu mengikuti kerangka atau sistem pemikiran di atas, yaitu dalam rangka mewujudkan pertanian profesional dan konstitusional.

 

MASIHKAH PERTANIAN SEBAGAI “PRIME MOVER”?

         Secara historis sektor pertanian telah dikenal sebagai pertaruhan antara “hidup dan mati”, termasuk bagi keseluruhan Bangsa Indonesia. Sudah terlalu banyak dislogankan bahwa “sektor pertanian” merupakan soko guru atau prime mover pembangunan nasional. Bahkan melalui pertanian nasib Bangsa dan Negara (Kesatuan Republik) Indonesia dipertaruhkan. Sebagaimana diceritakan dalam sejarah Nabi Yusuf bin Yaqub As, bahwa dengan memfokuskan pembangunan pertanian (dalam menghadapi 7 musim kering, setelah diawali dengan 7 musim “gemah ripah loh jinawi”), negara Mesir (kuno) akan terbebas dari kepunahan sejarah bangsanya.

         Bagi negara “agraris” seperti Indonesia, memposisikan pertanian dalam konstalasi penyelenggaraan negara merupakan hal yang sangat krusial. Hingga saat ini berbagai macam “slogan politik” tentang pertanian telah diproduksi oleh berbagai rejim pemerintahan, namun tetap saja masalah pembangunan pertanian (dan masyarakat pertanian di pedesaan) relatif di belakang (atau dibelakangkan). Ada indikasi inkonsistensi antara yang dislogankan oleh elit politik (dan pejabat puncak di kalangan eksekutif) dengan kenyataan yang dijalankan dalam pengelolaan sumberdaya agraris untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (tafsiran bebas dari Pasal 33 UUD 1945).

Imbas dari kesenjangan dan ketidak-jelasan (antara ideal dan operasional) penempatan sektor pertanian sangat terasa pada pemposisian penyuluhan pertanian. Di tingkat (opersional) lapangan posisi penyuluh pertanian saat ini seakan-akan di tengah-tengah “badai” ketidak-pastian fungsional (dan fasilitasi pendanaan dan prioritasi kebijakan) dalam kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. (Perlu dipahami berdasarkan PP No 37 tahun 2008, turunan dari UU No 32 tahun 2004, sektor pertanian merupakan urusan pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah). Apapun yang dislogankan dalam pembangunan pertanian (termasuk di daerah), tetap harus disadari bahwa pertanian tidak dapat dipastikan  sebagai “prime mover” penyelenggaraan pembangunan daerah.

Sektor pertanian, walau sepenting apapun dislogankan, masih diperlukan sebagai “penghias bibir” para politisi dan elit pemerintahan (pusat dan daerah). Dalam praktek di lapangan, sebagian besar penyelenggaraan pertanian masih mengandalkan kekuatan tradisional kesejarahan masyarakat petani di pedesaan. Disadari jika saja pemerintah tidak memberikan perhatian (misalnya dalam bentuk subsidi pupuk, benih, dan irigasi) pada sektor pertanian tradisional, khususnya tanaman pangan semusim, kinerja sektor pertanian akan semakin buruk. Dalam situasi seperti inilah “apakah masih bisa diterima jika peran penyuluh pertanian dituntut secara “heroik” untuk menjadi “pahlawan” pembela pertanian?”

Sektor lain, seperti industri, pertambangan, perumahan, dan perdagangan, terlalu di-“manja”-kan dibandingkan dengan sektor pertanian. Di ruang publik, terutama di media massa, sektor non-pertanian telah mendapat porsi pemberitaan yang jauh lebih “sexy” dibandingkan dengan sektor pertanian. Sektor pertanian baru dipertontonkan ketika terjadi peristiwa dramatis, misalnya terjadi “kelaparan” (karena gagal panen) secara masif di suatu daerah. Namun ketika diajukan adanya kebutuhan mendesak untuk dibangun sistem pertanian (industrial pedesaan) yang tangguh dan berdaya-saing tinggi secara berkelanjutan hampir semua pihak tidak tertarik untuk ikut andil secara intensif, termasuk kalangan media massa.

Secara gradual sektor pertanian pedesaan telah mengalami pengikisan citra, dan hal ini tidak cukup tertolong melalui “slogan (yang hampir) kosong” dari kalangan elit politik dan pemerintahan tentang (romantika) pentingya pertanian untuk memajukan masyarakat pedesaan. Di banyak kalangan masyarakat pun, bahkan masyarakat pedesaan, sudah banyak yang enggan memberikan pembelaan atau advokasi terhadap pentingnya ada keberpihakkan politik terhadap sektor pertanian tradisional di pedesaan. Hal ini sangat bisa dimengerti karena sektor pertanian di pedesaan lebih mewakili sektor yang (secara ekonomi, gengsi sosial, dan budaya) tidak menarik untuk dipertontonkan.

Terkait dengan reposisi STPP, sangat logis jika diperlukan pemaknaan kembali apa itu “sektor pertanian”. Kemajuan di sektor industri, misalnya industri minyak sawit dan susu kaleng, seakan-akan tidak dianggap sebagai sektor pertanian. Padahal hampir tidak mungkin (misalnya) industri minyak sawit dapat menghasilkan surplus ekonomi yang relatif besar jika tidak didukung ketersediaan kebun (usahatani) kelapa sawit. Bahwa eskalasi kebun sawit telah membuat banyak kalangan terintimidasi, terutama di wilayah persawahan dan kehidupan petani kecil di pedesaan, hal itu dianggap sebagai kewajaran dari resiko pemacuan liberalisasi di sektor pertanian pedesaan.

Banyak kalangan, termasuk internal di Kementerian Pertanian, masih ada semacam ambigu dalam memaknai sektor pertanian. Sebagai gambaran, jika suatu sektor tidak menghasilkan nilai ekonomi tinggi (“liberal”) maka sektor tersebut dilekatkan citra pertanian, misalnya pertanian padi sawah di pedesaan. Walaupun demikian, jika suatu segmen kegiatan di sektor pertanian menghasilkan “kejayaan ekonomi uang” (misalnya kegiatan pengolahan TBS kelapa sawit menjadi minyak sawit) maka hal itu tidak layak lagi jika dilekati dengan “citra” pertanian. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan Negara (Indonesia) tidak ada keharusan mengikuti pencitraannya di ruang “publik” tentang suatu sektor maju atau tidak maju, melainkan pada sejauh mana Negara dikendalikan sesuai amanat Konstitusi (UUD 1945).

Jika dirujuk pada amanat UUD 1945, dalam kalimat terakhir pada Pembukaan dan substansi Pasal 33 UUD 1945, sangatlah tegas bahwa dalam memakmurkan kehidupan masyarakat banyak pemerintahann Negara harus bertanggung jawab terhadap kemajuan agraria. Kegagalan dalam mensejahterakan masyarakat pertanian di pedesaan dapat dipandang sebagai kegagalan pemerintahan Negara dalam menjalankan amanat Konstitusi (UUD 1945) membangun sektor pertanian. Sebelum membahas tentang kompetensi dan profesionalitas SDM dan penyuluh pertanian ada baiknya dirumuskan lebih dahulu apa itu pertanian konstitusional, pertanian yang sesuai dengan amanat Konstitusi.

 

PERTANIAN PROFESIONAL DAN KONSTITUSIONAL

Penyuluh pertanian yang kompeten dan profesional harus didudukkan dalam bingkai pertanian yang modern, industrial, memberikan manfaat pada hajat hidup orang banyak, dan dikelola secara profesional. Istilah pertanian profesional dan konstitusional perlu dikemukakan dalam sub bab ini, karena akan diajukan suatu pendekatan pengembangan pertanian industrial di pedesaan yang bersifat reformatif. Pengembangan pertanian industrial pedesaan ke depan perlu memperhatikan aspek nilai ekonomi total yang maksimal, adanya sistem pembagian yang lebih adil (masukan dan luaran), serta pentingnya pemeliharaan ekosistem masyarakat pedesaan.

Dalam 3-4 dekade terakhir, konflik antara membangun pertanian (tradisional pedesaan) dan industri (modern perkotaan) terus berlangsung. Bahkan konflik ini semakin hari terasa semakin tajam, terutama terkait dengan alokasi sumberdaya negara yang bersifat strategis (lahan, pembiayaan finansial, energi, infrastruktur, serta SDM berkompetensi tinggi), sektor pertanian dikebelakangkan. Selain hanya dalam tataran slogan politik, berbagai langkah strategis untuk membangun pertanian profesional dan konstitusional masih relatif terabaikan. Akibat yang sangat terasa, misalnya, banyak produk pertanian kita hampir tidak mampu bersaing di pasar dalam negeri (karena serangan produk pertanian impor). Produk pertanian strategis seperti: padi, jagung, kedele, daging sapi, susu, dan gandum setiap tahun harus diimpor dalam jumlah sangat besar.

Kemungkinan besar ada yang salah pada pendekatan pembangunan sektor pertanian kita. Kesalahan ini pada gilirannya akan ditransmisikan pada kegiatan dan sistem penyuluhan pertanian. Sebagai sub-sistem penyuluhan, penyuluhan pertanian akan banyak kena getahnya ketika “kinerja” pembangunan pertanian di pedesaan tidak mampu menjawab berbagai permasalahan strategis Bangsa Indonesia, terutama terkait dengan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (masyarakat petani) Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh, maka kinerja pembangunan pertanian yang jauh dari harapan dapat dilihat dari daya saing sektor pertanian nasional kita. Lemahnya daya saing ini dapat dilihat dari perbandingan dengan sektor pertanian negara luar, dan dengan sektor non-pertanian (misalnya industri manufaktur dan properti) dalam sistem perekonomian domestik.

Terlalu sembrono dan kurang bijaksana jika lemahnya daya saing sektor pertanian langsung dialamatkan pada sistem penyuluhan pertanian, terlebih lagi jika jika dibebankan pada pundak penyuluh pertanian (di pedesaan). Sebagai gambaran, banyak kalangan penyuluh pertanian merasa tidak nyaman lagi dalam menjalankan tugas pokoknya, karena yang dihadapi oleh masyarakat petani di pedesaan bukan lagi terfokus pada peningkatan produktivitas usahatani, melainkan lebih pada bagaimana meningkatkan pendapatan rumah tangga agar kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Dengan rata-rata luasan usahatani di bawah 0,5 he per rumah tangga, sangatlah sulit pendekatan produktivitas usahatani yang harus diperjuangkan oleh penyuluh pertanian sesuai dengan tuntutan masyarakat petani tradisional di pedesaan. Sedikit banyak, salah satu penyebab “kegagalan” pembangunan sektor pertanian kita adalah pada pendekatan pembangunan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi (“growth maniac”) secara fisik dengan paradigma ekonomi pasar bebas (“neo-liberal”).

Sebagai Negara yang mempunyai sumberdaya agraris relatif besar, sangatlah penting untuk tetap menempatkan kegiatan berbasis usaha pertanian di pedesaa, hulu-hilir, sebagai tulang punggung perekonomian masyarakat. Jika pengelolaan sumberdaya agraris seperti yang hingga saat ini terjadi, maka pemaknaannya menjadi kurang sejalan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakt petani. Hingga saat ini pengelolaan sumberdaya agraris masih bersifat statis di bagian hulu (usahatani), yaitu menggambarkan hal yang bersifat turun-temurun dan romantis. Hampir tidak ada upaya pemaknaan baru terhadap prasa Negara yang “kaya raya...jamrud katulistiwa” ... karena tidak disertai rekayasa kebijakan politik yang masif untuk mewujudkan pertanian profesional dan konstitusional.

Jika sektor pertanian tradisional di pedesaan dianggap sebagai hal yang berdiri sendiri, maka dapat diibaratkan sebagai “burung Rajawali” yang terbang dengan satu sayap (sayap yang lain tidak difungsikan atau dipatahkan). Kinerja “burung Rajawali” akan mencapai optimal jika satu sayap lain difungsikan, sehingga ketajaman paruh, cengekraman kaki dan tubuhnya yang kokoh, kegesitan, dan kecerdasan otaknya akan menjadi kekuatan sinergis yang dapat mengatasi berbagai masalah strategis. Ibarat tadi sejalan dengan bahwa Negara harus mewujudkan pertanian sebagai sektor unggulan yang mampu secara strategis dalam penyediaan bahan pangan, energi terbarukan, penjaga kesehatan ekosistem, daya-saing wilayah kedaulatan, sharing system yang lebih adil, dan tempat yang nyaman dan aman bagi aktivitas masyarakat banyak.

Untuk dapat menjadi sektor unggulan, dalam bentuk pertanian industrial di pedesaan, adalah tidak mungkin jika hampir semua hal dibebankan pada masyarakat petani tradisional di pedesaan. Sektor pertanian harus dilengkapi dengan seperangkat piranti lainnnya Seperangkat piranti dimaksud dapat disebut juga sebagai enabling factors, meliputi: ketersediaan infrastruktur (misalmya jalan dan alat transportasi), modal finansial (hingga elemen hulu kegiatan pengolahan tanah dan pemeliharaan kesuburannya), ketersediaan peralatan dan teknologi usaha pertanian (sejak budi daya hingga dan pasca produksi bahan bakunya), serta keorganisasian usaha yang bersifat utuh dan terintegrasi hingga produk akhirnya yang bernilai tambah ekonomi relatif tinggi.

Satu hal yang hingga kini dianggap tidak penting, adalah ukuran penguasaan lahan usaha pertanian per keluarga. Dapat dikatakan hampir mustahil bahwa untuk memajukan masyarakat petani dan pertanian di Indonesia tidak disertai dengan memperbesar ukuran usahatani keluarga. Dari bukti sejarah di banyak negara, kemajuan pertanian dan masyarakat suatu Negara hanya mungkin jika disertai perluasan ukuran penguasaan lahan pertanian. Para founding fathers sudah menyadari hal ini, dan kemudian berinisiatif membentuk Undang-undang Pertanian Indonesia, yang kemudian diberi nama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dalam suatu kesempatan melakukan “Penelitian Profil Petani di Indonesia…” penulis sempat berdialog dengan bebrapa katagori petani. Salah seorang petani dimaksud adalah petani yang mengolah lahan kering (“ahli perkebunan karet rakyat”) untuk tamana karet. Ketika secara kritis harus dapat ditentukan ukuran luas kebun (berapa ha per KK?) yang layak dikuasai petani karet rakyat, maka mencari titik kesepadanan antara luas lahan kebun karet dengan tingkat kehidupan petani yang layak haruslah menjadi salah satu kunci jawaban. Dengan ukuran luas lahan 4-5 ha per KK petani karet rakyat baru dapat dikatakan mempunyai harapan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, hingga menyekolahkan anaknya ke tingkat perguruan tinggi. Dengan rata-rata penguasaan lahan usahatani tidak lebih dari 1 ha per KK, maka keinginan untuk menjadikan usahatani karet rakyat dapat meningkatkan kehidupan petani dan keluarganya akan menjadi harapan kosong.

Hal yang hampir sama diarahkan pada usaha pertanian tanaman pangan, terutama padi dan jagung, yang taksirannya bahwa untuk hidup layak 1 keluarga petani harus mengelola sekitar 2,5 – 3,0 hektar per RT. Untuk usaha ternak sapi pedaging, 1 keluarga peternak harus mengelola sekitar 8-10 ekor sapi per RT. Jika dikaitkan dengan profesionalitas usaha pertanian, maka ukuran tersebut masih belumlah memadai. Visi Bung Karno (dalam Pidato tanggal 27 April 1952 tentang “Pangan: Antara Hidup dan Mati”), seyogyanya luas usaha pertanian per keluarga adalah 20 hektar per RT. Dengan ukuran ini profesionalitas pertanian dapat dijalankan dengan bantuan SDM pertanian yang kompeten (berketrampilan relatif tinggi), pertalatan pertanian mekanis, sistem manajemen koperasi yang profesional, dan dukungan kewirausahaan kolektif (“terorganisir”) yang tinggi.

         Industrialisasi pertanian pedesaan merupakan langkah strategis untuk melakukan mewujudkan pertanian profesional dan konstitusional. Pengelolaan sumberdaya agraris di pedesaan perlu diarahkan untuk mewujudkan satu sistem usaha pertanian industrial yang utuh di pedesaan. Beberapa hal penting untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan memperhatikan bahwa: (1) produk yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya agraris dapat dilihat dari produk akhir pertanian di pedesaan yang bernilai tambah tinggi, (2) seluruh sistem usaha diselenggarakan di pedesaan, (3) dilakukan oleh pelaku ekonomi di pedesaan, dan (4) serta seluruh tubuh jaringan industri dikuasai oleh masyarakat pedesaan secara kolektif.

Pengelolaan sumberdaya agraris dalam perspektif pertanian profesional dan konstitusional diarahkan untuk membangun usaha pertanian industrial di pedesaan. Usaha ini harus dijalankan secara profesional dengan basis keanggotaan dan keorganisasian kolektivitas petani setempat. Jika keorganisasian ini sudah terbentuk dan berkembang dapat diarahkan untuk pengelolaan sumberdaya non-agraris di pedesaan, misalnya dengan menghasilkan produk yang bersal dari mineral tambang dan jasa lingkungan. Dalam pengelolaan organisasi usaha sejauh mungkin dihindari adanya konsentrasi kekuatan (misalnya dalam bentuk penguasaan modal finansial) pada satu atau beberapa pelaku usaha. Dalam koridor hukum di Indonesia, organsasi usaha ini berbadan hukum koperasi. Dengan demikian, spirit usaha ”dari dan untuk masyarakat petani” secara fungsional dan konstitusional hal ini sangat mungikin dapat diwujudkan secara efektif.

Jaringan usaha pertanian industrial dari pengelolaan sumberdaya agraria semuanya berada di pedesaan. Desa adalah lokus kegiatan seluruh jaringan usaha pertanian industrial. Jaringan usaha dimaksud sebaiknya dalam satu kesatuan manajemen usaha; bersifat utuh dan integratif; hulu-hilir. Dengan cara kerja demikian biaya transaksi, akibat dari segmentasi usaha (usahatani, pengolahan dan pemasaran), dapat direduksi atau paling tidak dapat ditekan hingga pada batas relatif rendah. Dengan pendekatan ini, daya saing usaha pertanian industrial dari pengelolaan lahan kering di pedesaan akan menjadi relatif lebih mudah diwujudkan. 

Sifat kepemilikan bersifat kolektif (“people based collective ownership”), tidak individual yang bertendensi mengutamakan egisme individualistik. Kolektivitas pemilikan jaringan usaha pertanian industrial ini dibingkai dalam sistem interdependensi antar anggota (atau pelaku usaha utama) yang bersifat simetris. Pola hubungan “bapak angkat” yang mengikuti sistem ekonomi paternalistik tidak digunakan, karena berpotensi adanya eksploitasi tehadap hak-hak ekonomi petani atau pelaku ekonomi di pedesaan. Dengan bingkai seperti ini akan relatif mudah dapat dibangun sharing system yang relatif adil. Melalui asas kepemilikan dan sharing system seperti ini dimungkinkan dilakukan peningkatan skala atau jaringan usaha melalui pembentukan kerorganisasai usaha pertanian industrial modern di pedesaan (dengan badan hukum Koperasi).

 

SDM PERTANIAN DAN REPOSISI STPP

  Pada halaman judul telah diketengahkan “penyuluhan pertanian seharusnya dilihat dalam bingkai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa (mencakup: teknis, sosial, ekonomi, budaya, dan politik), bukan sekedar untuk tujuan transfer teknologi usahatani dari “lembaga penelitian atau pengkajian” ke usahatani tradisional di pedesaan yang digerakan dalam perspektif pembangunan sektoral (pertanian)

        

Perlu disadari bahwa reposisi STPP tidak dalam ruang hampa. Sebagai gambaran, reposisi STPP sangat terkait dengan perspektif memposisikan kembali sektor pertanian pedesaan sebagai penggerak ekonomi dan peningkatan daya-saing masyarakat pedesaan secara berkelanjutan. Selain itu, reposisi STPP juga harus diarahkan sebagai bagian dari penyelesaian masalah keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, serta kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di pedesaan. Dapat dikatakan bahwa reposisi STPP merupakan bagian dari penempatan kembali SDM dan modal sosial di pedesaan sebagai pengerak kedaulatan ekonomi politik di pedesaan. Hal ini dilatar-belakangi pemahaman bahwa industrial di pertanian ke depan perlu dijadikan semacam alternatif strategis pendekatan pembangunan pertanian di pedesaan.

Dengan mengikuti alur pemikiran untuk mewujudkan sektor pertanian sebagai “prime mover“, maka dapat dibuat sistem peningkatan SDM pertanian yang kompeten dan profesional (secara individual dan kolektif) dalam rangka mewujudkan daya-saing pertanian (industrial) di pedesaan secara berkelanjutan. Pemaknaan tentang daya-saing pertanian secara berkelanjutan dapat dipandang sebagai terjemahan dari pertanian profesional dan konstitusional. Dalam dunia usaha privat, misalnya swasta besar (nasional dan asing), telah sangat berhasil dalam mewujudkan beberapa pertanian profesional. Sebagai contoh pengembangan pertanian kelapa sawit di Indonesia, yang secara profesional sudah sangat tinggi, namun secara konstitusional masih sangat meragukan.

         Peningkatan kompetensi (dan profesionalitas) SDM pertanian bukan suatu entitas yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan banyak aspek (teknis, sosial, ekonomi, budaya, dan politik). Oleh sebab itu, hal ini perlu dibingkai dalam perspektif sistem penyelenggaraaan pertanian berdayasaing dan berkelanjutan (Gambar 1). Tampak bawa untuk mewujudkan daya saing pertanian berkelanjutan dibutuhkan beberapa sub-sistem pendukung, yaitu: visi pertanian industrial, tata-nilai kewirausahaan dan keadilan, elemen kompetensi SDM, kecerdasan manajerial dan kolaboratif, serta organisasi ekonomi konstitusional (berbadan hukum koperasi). Dapat ditambahkan, bahwa pada aspek kecerdasan manajerial dan kolaboratif di dalamnya dapat dicakup aspek pengelolaan keuangan dan kepemimpinan usaha.

         Dalam rangka mewujudkan sistem yang ditunjukkan pada Gambar 1, maka perlu diperkuat sub-sistem pendukung yang secara signifikan dapat dikuasai dan dikelola secara baik oleh STPP. Sub-sistem pendukung yang dimaksud mencakup: penataan kurikulum (yang sesuai), kualifikasi tenaga pengajar (antara lain dengan merekrut dari tenaga peneliti senior di Badan Litbang Pertanian), lembaga penelitian (bisa diintegrasikan dengan kegiatan Badan Litbang Pertanian; termasuk sarana dan prasarana penelitian), dan sistem regulasi (internal dan eksternal). Pengintegrasian sub-sistem dapat dilakukan secara kelembagaan dalam STTP. Dalam kaitan inilah reposisi STPP perlu diwujudkan dalam sistem kerja yang sistematik.

         Hubungan antara peningkatan SDM pertanian dan reposisi STPP dapat dipandang sebagai satu tarikan nafas panjang. SDM pertanian adalah bagian dari elemen masyarakat yang progresif, dan STPP adalah bagian perpanjangan kelembagaan pencerdasan masyarakat untuk kemajuan pertanian. Ibaratnya, peningkatan SDM pertanian adalah produk atau anak panah yang dibidikkan, sedangkan STPP adalah kelembagaan atau busur pelepas anak panah. Dalam reposisi dimaksud terkandung upaya meningkatkan status dan fungsi STPP sebagai lembaga pendidikan tinggi yang fokusnya di pertanian. Status STPP harus ditingkatkan sejajar dengan perguruan tinggi.

         Terkait dengan reposisi STPP dimaksud ada beberapa bidang kegiatan yang perlu dikerjakan secara simultan, yaitu: aspek substansial, administrasi dan prosedural, serta aspek hukum dan advokasi. Masing-masing bidang pekerjaan perlu ditangani oleh tim khusus yang berisi tenaga ahli menurut bidang masalah yang ditangani. Salah satu tim khusus perlu menangani pemetaan kesiapan pada masing-masing STPP (di 6 lokasi: Bogor, Yogyakarta/Magelang, Manokwari, Gowa, dan Malang). Masing-masing STPP perlu dibuat katagorisasi dilihat dari kualitas manajemen lembaga, bidang atau fokus garapan yang ditangani, kesesuaian dengan masalah dan kebutuhan daerah, sarana dan prasarana, dan kekuatan (memobilisasi) tenaga pengajar.

        

PENUTUP

         Sebagai penghasil SDM pertanian, STPP adalah lembaga pendidikan yang telah berkembang lama (cukup dewasa) dan mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas. Pengguna jasa STPP dapat diperluas, tidak sekedar sebagai sekolah kedinasan (menghasilkan penyuluh pertanian dan aparat kementerian pertanian), melainkan juga operator pertanian industrial pedesaan, pengelola manajemen usaha pertanian industrial pedesaan, advokator pertanian, serta masyarakat luas.

SDM pertanian adalah bagian dari sistem pertanian yang harus sesuai dengan amanat Konstitusi (UUD 1945). Reposisi STPP perlu diletakkan dalam bingkai dalam visi mewujudkan pertanian profesional dan konstitusional. Road Map Reposisi STPP perlu disusun secara sistematik ke arah menghasilkan SDM pertanian yang kompeten dan profesional. Pengertian SDM pertanian kompeten dan profesional tidak hanya dalam konteks individu, melainkan juga dalam konteks kolektif yang terorganisir.

         Peningkatan SDM pertanian (aparat kedinasan pertanian pusat dan daerah, penyuluh pertanian, serta kalangan masyarakat luas) perlu diletakkan dalam bingkai untuk mewujudkan pertanian industrial di pedesaan, yang merupakan tafsiran dari pertanian profesional dan konstitusional. Beberapa aspek penting dalam rangka mewujudkan pertanian industrial di pedesaan dimaksud adalah terbangunnya sistem pertanian yang utuh di pedesaan, tata-nilai kewirausahaan dan keadilan, elemen kompetensi SDM, keorganisasian ekonomi konstitusional (berbadan hukum koperasi), dan kecerdasan manajerial dan kolaboratif.

Fungsi STPP adalah bagian dari mencerdaskan kehidupan masyarakat pertanian melalui penguatan sektor pertanian sebagai prime mover pembangunan. Reposisi STPP adalah peningkatan status dan fungsi STPP untuk menghasilkan SDM pertanian (operator usaha pertanian industrial di pedesaan, penyuluh (pemerintah, swasta dan swadaya), aparat kedinasan pertanian, masyarakat luas, serta penggerak dan advokator pentingnya penguatan pertanian industrial di pedesaan) yang kompeten dan profesional. Reposisi STPP harus menjadi bagian dari pemecahan masalah yang terkait dengan pengelolaan kedaulatan kebangsaan di bidang pembangunan pertanian di pedesaan.

         Beberapa hal yang perlu ditempuh untuk Reposisi STPP adalah dalam bentuk penguatan pada aspek elemen visi STPP ke depan, kompetensi dan profesionalitas (SDM) tenaga pengajar, kurikulum yang progresif, dukungan sarana dan prasarana (termasuk laboratorium kajian dan percobaan), sistem insentif pegawai penunjang, sistem penjejangan pendidikan, kolaborasi dan koordinasi dengan lembaga pendidikan yang komplemen, serta jaringan pengguna jasa kompetensi lulusan STPP. Sangat mungkin STPP diposisikan menghasilkan tenaga profesional pada berbagai strata pendidikan, dari strata diploma (D1, D2, D3, dan D4) hingga tingkat sarjana dan magister manajemen.  

BAHAN BACAAN

Paige, J.M. 2011. Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-Negara Dunia Ketiga. Penerbit Imperium. Yogyakarta.

Pranadji, T. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengembangan Agoekosistem Lahan Kering: Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunungkidul dan Ex Proyek Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. JAE, 24(2):178-206.

Pranadji, T. 2010. Modal Sosial dalam Pengelolaan Ekosistem. dalam Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air, (Editor: K. Suradisastra, Shat M. Pasaribu, B. Sayaka, A. Audah, I. Las, Haryono, dan E. Pasandaran). Badan Peneltian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Pranadji, T. 2012. Masalah Kedaulatan dan Kebangsaan: Apakah pengelolaan kedaulatan politik dan ekonomi masih pada jalur untuk mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia?”. Makalah disajikan dalam Diskusi Terbatas (FGD) “Pencermatan Masalah Kebangsaan dalam Relevansi Sistem Parlemen di Indonesia”, 10 Oktober 2010, di Hotel JW Marriot, Kuningan, Jakarta Selatan. Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta.

Soekarno. 1952. Soal Hidup atau Mati. dalam Pangan Rakyat: Soal Hidup atau Mati (Pengantar B Krisnamurthi). IPB Press. Bogor.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Sinar Grafika. Jakarta.

Tjondronegoro, S.M.P. 1008. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. AKATIGA. Bandung.

 

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar